Saturday 18 November 2017

Malaika*


Peni, adik bungsuku, lahir ketika aku baru naik kelas 4 SD. Bapak kala itu pulang ke rumah buru-buru untuk menjemput aku dan Pera ke rumah sakit.

“Adek udah lahir, Pak? Laki-laki atau perempuan? Kapan bisa pulang ke rumah?” Aku dan Pera tak sabar mengejar Bapak dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tak sabar rasanya saat itu aku punya adik lagi. Selama ini, aku dan Pera sudah terlalu banyak melewati perang saudara, mulai dari rebutan mainan, rebutan Bapak, rebutan makanan dan lain sebagainya, rasanya kami butuh pengalihan. Sebagai anak sulung yang sangat otoriter, punya adik lain selain Pera bagiku sangat menguntungkan karena aku bisa memberi titah-titah absolut kepada 2 orang sekaligus. Mungkin Pera berpikir sebaliknya, baginya punya adik lagi berarti dia bisa punya teman bermain, bukan teman berperang seperti selama ini.

Cerita berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Ternyata, kewajiban anak sulung sungguh berat. Apalagi punya dua orang adik yang rewel. Suatu kali, orangtua kami meninggalkan kami bertiga di rumah. Setiap pergi, orangtua pasti menitip kami uang jajan yang harus dibagi 3. Aku selalu keberatan dengan sistem pembagian itu, faktanya, pembagian itu tidak pernah merata, Peni, sebagai anak bungsu yang doyan makan, seperti tak pernah kenyang dan tanpa peduli selalu menangis meraung-raung tiap kali jatah uang jajannya habis. Sebagai anak sulung yang bertanggung jawab (lebih tepatnya karena malas mendengar tangisannya), aku kadang terpaksa merelakan uang jajanku untuk mengakomodir kebutuhan jajan Peni. Tapi waktu itu, aku tidak mau mengalah lagi, tidak mau memberikan uang jajanku padanya. Aku membiarkan saja Peni mengangis meraung-raung. Puncaknya, tanpa kami duga, Peni melemparkan bonekanya dengan kesal ke lemari kaca Ibuku. Bukan hanya kaca yang pecah, salah satu pajangan Ibuku pun ikut pecah. Akhirnya, aku merelakan uang jajan lagi untuknya dan ketika orangtua kami pulang, tentu saja aku lagi yang terkena omelan.

Tahun demi tahun, tanpa kusadari, Peni menjadi sosok anak yang sangat ceria dan senang membuat orang lain bahagia. Pernah suatu kali, Ibuku pulang dari sebuah pesta adat kerabat kami sambil membawa bungkusan berisi kue. Aku sempat bertanya keheranan karena tidak biasanya Ibuku membawa kue sisa dari pesta. “Adekndu yang pesan tadi supaya Mamak bungkus dan kasih untuk kakak di rumah” Ibuku menjawab keherananku. Begitulah, sering ketika pulang berkunjung dari rumah kerabat yang sering memberinya snack atau pernak-pernik lucu, Peni tetap membawakannya untuk aku dan Pera.

Minatnya terhadap seni juga makin terlihat. Ia sangat tertarik jika melihat aku menggambar tokoh-tokoh komik. Setiap kali ia melihat aku selesai menggambar pesanan dari teman-teman sekelasku, ia langsung buru-buru mengambil kertas terbaiknya untuk kugambar. Dia kadang memberi pesan-pesan khusus semisal “rambutnya panjang trus pake pita ya kak” atau “roknya kembang warna biru ya kak”. Di antara semua permintaannya, sering pula aku menolak menggambar untuknya dengan alasan masih sibuk. Kadang aku mengomelinya karena aku menganggap ia terlalu rewel untuk anak seusianya. Setiap aku selesai menggambar, ia mulai menirunya walaupun waktu itu hasil gambarnya maupun gambarku sama-sama asimetris sana-sini.

Suatu kali, Aku pulang sekolah cepat, kudapati di rumah Peni juga sudah pulang dari TK. Ia meringkuk di dekat salah satu lemari sambil terisak. Pelan kudekati ia, “Kenapa dek?” Peni akhirnya mengangkat wajahnya pelan-pelan dan berusaha menyeimbangkan isakan tangisnya dengan keinginan untuk berbicara. Susah payah ia menjawab bahwa di sekolah tadi, ada seorang temannya yang meledeknya karena sudah tidak mempunyai Bapak lagi. “Kata temanku tadi, Kak, Bapak kita udah meninggal, makanya aku gak punya Bapak, padahal dia punya Bapak….” lapornya susah payah. Aku memeluknya dan menenangkannya. Aku menjelaskan padanya bahwa berbeda dengan Bapak teman-temannya yang lain, Bapak kami sekarang ada di Sorga. Ia tampaknya bisa menerima dan sejak saat itu aku tak pernah lagi mendapatinya menangis karena alasan yang sama.

Peni bercita-cita ingin menjadi pelukis terkenal dan membuka galeri seni. Ia pernah juga menyatakan ingin menjadi penulis komik terkenal. Di lain waktu, ia bercerita pula bahwa ia bermimpi ingin menjadi perancang busana terkenal dan bahkan ingin menjadi pemusik terkenal. Ia tak sekedar omong kosong, saat audisi “Idola Cilik” di RCTI pertama kali dibuka di Medan, ia ngotot ingin ikut. Berhari-hari ia latihan bernyanyi di depan kaca. Melihat usaha kerasnya, Kami tak tega mengatakan padanya bahwa audisi itu melelahkan dan kami tak sanggup mengantarkan dan menungguinya seharian ke Medan untuk ikut audisi. Aku sering menceritakan ulang kisah itu untuk menggodanya ketika ia bosan atau kesal, dan setiap aku menyanyikan theme song “Idola Cilik” ia selalu tertawa terbahak-bahak.

Aku memiliki banyak ketertarikan yang sama dengan Peni, karena itu lah aku merasa paling ‘nyambung’ dengannya. Kami sering tertawa terbahak-bahak ketika mengingat adegan-adegan lucu di film kartun Spongebob atau Scooby Doo. Peni sangat pintar menirukan suara Sponge Bob, Patrick, Scooby Doo, dan Scrabby Doo. Kami sering berdialog menggunakan suara-suara tokoh kartun ini, dan setelahnya kami berdua tertawa puas terbahak-bahak. Biasanya Pera hanya mengamati dan tak berminat terlibat dalam hobi aneh kami tersebut. 

Peni sering menghabiskan berlembar-lembar kertas hingga mendapatkan gambar yang sesuai dengan keinginannya. Ketika aku mulai berkuliah di Medan, ia sering meminta agar dibawakan oleh-oleh berupa buku sketsa. Tak seperti aku, kemampuan menggambarnya meningkat dari tahun ke tahun dan tampaknya tak tergerus oleh minat atau tren lainnya. Setiap aku dan Pera pulang dari luar kota atau ketika ia ulang tahun, Peni hanya meminta peralatan menggambar dan alat musik sebagai hadiah untuknya.

Aku tak menyangka Peni sangat konsisten dengan pilihannya, ketika lulus SMA, ia ingin masuk ke institut seni dengan konsentrasi seni rupa murni, bukan desain grafis atau desain interior yang lebih mainstream. Aku sempat menanyakan berulang-ulang keseriusannya dengan menggambarkan konsekuensi dia harus berkuliah di luar Pulau Sumatera hingga lapangan kerja yang mungkin terbatas. Namun, ia tetap keukeuh, ia mengurus keberangkatan dan mengikuti tes seorang diri ke Yogyakarta, bahkan ia sempat bernegosiasi dengan pihak kampus karena dokumen pendaftaran yang ia kirimkan tiba di hari penutupan pendaftaran, yang mana tak menghasilkan apapun (haha). Ia sempat nekad ingin mengikuti tes tahun berikutnya, namun akhirnya di hari terakhir ia di Yogya ia memutuskan untuk mengikuti tes terakhir masuk kampus USU lusa (haha), mungkin pikirnya, jika ia harus menunggu kuliah tahun depan lagi, ia akan bosan melakukan persiapan selama setahun lagi. Apalagi semasa sekolah ia sangat menyibukkan diri dengan mengikuti berbagai kegiatan luar sekolah mulai dari latihan kempo, les bahasa inggris, klub teater, klub pencinta alam dan bimbingan tes universitas. Aku ingat suatu kali di telepon ia bercerita tentang kemajuannya di latihan kempo, ia bangga telah bisa 'membanting' salah seorang temannya yang gemuk. Aku kontan meledeknya, "Kau bukannya gendut juga, dek?" Namun Peni tetap menyangkal bahwa ia gemuk dan tetap mempertahankan pendapat bahwa temannya tersebut jauh lebih gemuk darinya. Pernah juga ia bercerita padaku bahwa saat rumah kami kemasukan ular, Ibuku panik dan langsung meminta Peni mematikan ular tersebut dengan jurus kemponya. Haha.

Aku makin kagum pada Peni yang sangat berani memperjuangkan mimpinya. Meskipun ia berkuliah di jurusan Sastra Jepang, ia tak pernah absen mengikuti kompetisi menggambar dan memenanginya, ia juga konsisten menggambar sketsa wajah dan mengaplikasikannya di atas bajunya sendiri melalui teknik bordir. Ketika seumurannya, aku tak pernah berpikir melakukan hal yang sama. Ia sering mengeluarkan ide-ide yang tak biasa ketika membantu ibuku mendesain baju, bahkan ia sudah punya visi pengembangan usaha keluarga hingga 5 tahun ke depan. Ia pernah mengatakan padaku, bahwa selepas S1, ia akan mengikuti beasiswa S2 ke Jepang, itulah sebabnya ia bersemangat sekali mengikuti kursus tambahan bahasa Jepang, agar bisa cepat-cepat memenuhi standar kemampuan bahasa Jepang untuk tes ke universitas di Jepang.

Sejak hari ia kritis di rumah sakit hingga hari pemakamannya, kunjungan dari sahabat-sahabat kami seperti tak pernah berjeda lama. Peni sangat akrab dengan sahabat-sahabatku, Pera dan Ibuku, ia juga paling dekat dengan keluarga besar kami dan dikenang karena keramahan dan ketulusan hatinya. Seorang sahabat Ibuku mengatakan di hari terakhir ia bertemu dengan Peni ketika ia hendak ke kampus, Peni sempat berkata, “Bik, aku titip Mamak ya, Bibik harus sering-sering lihat Mamak ya” begitulah ia, selalu mengutamakan orang lain dan selalu siap ketika diminta pertolongan.

Aku pernah memarahinya karena ia bertanya padaku siapa presiden pertama RI, namun di hari pemakamannya, aku sadar ia lebih banyak memikirkan hal-hal tak biasa yang tak terpikirkan oleh orang lain di bumi ini. Hari pemakamannya menjadi ajang re-uni sahabat-sahabatnya sejak SD hingga kuliah, mereka semua mengeluhkan hal yang sama, “Kalau bukan Peni, siapa lagi yang selanjutnya akan jadi ‘EO’-nya kita kalau mau ngumpul-ngumpul?” Ibuku bercerita, setiap ia berangkat ke Medan, ia membawa banyak sekali makanan yang sudah ia rencanakan untuk diberikan kepada siapa saja di Medan nanti. Setiap dia melakukan perjalanan ke mana saja, walau singkat sekalipun, ia selalu membawa banyak snack, bukan untuknya melainkan untuk ia berikan kepada anak-anak kecil yang ia temui di antrian dan orang tua kelaparan yang ia temui di bus. Senyumnya yang ramah membuat banyak anak-anak senang berada di dekatnya dan sahabat-sahabat dari Bapak dan Ibuku mengenangnya sebagai penyebar suka cita.

Aku ingat ketika tahun baru 2017 ketika aku mengunjunginya di Medan, ia mengajakku, dan sahabatku, Paulina dan Randi, menonton “Arrival”. Di pintu masuk, Randi dicegat petugas karena membawa air minum dan makanan di tasnya. Di tengah-tengah adegan film yang sedang sedih-sedihnya, Peni tiba-tiba mengeluarkan 4 buah jeruk dari tasnya untuk dibagi-bagikan kepada kami. Gagal sedih, kami akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil memakan buah jeruk tersebut tanpa peduli konsentrasi penonton lain yang rusak akibat ulah kami. Ia selalu menjadi bagian dalam kebahagiaan geng kami, mulai dari lusuh-lusuh naik turun gunung hingga menghitung jumlah ubin di mall.

Aku bersyukur pada Tuhan bahwa kami mengenang Peni sebagai seorang malaikat yang Ia kirimkan ke keluarga kami selama 18 tahun. Aku ingat ketika aku pulang ke Berastagi tahun 2015, saat itu ia juga baru saja mengikuti katekisasi sidi. Kami berdiskusi tentang kehidupan setelah kematian, bahwa setiap orang yang telah percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat pasti akan diselamatkan dan bersama-sama dengan Tuhan di Sorga kelak. Aku selalu membayangkan ia di Sorga sebagai anak yang cepat bergaul dengan penghuni sorga dari berbagai bangsa. Di pagi hari mungkin ia akan berjalan-jalan di luar sambil membawa peralatan melukisnya, setiap siang dia akan belajar memasak berbagai resep cake baru. Bulan-bulan seperti ini, setiap sore dia akan mempersiapkan diri latihan paduan suara untuk natal di Sorga. Aku tak tahu apakah setelah di Sorga dia masih bernyanyi di suara alto. Pada malam hari ia akan belajar memperdalam bahasa jepangnya, atau kalau bosan ia akan nonton serial Korea haha. Pada hari sabtu mungkin ia sedang persiapan untuk mengajar anak-anak sekolah minggu keesokan harinya.

*Dalam bahasa Swahili berarti Malaikat, juga merupakan judul lagu yang ditulis oleh Adam Salim dari Tanzania dan  dipopulerkan oleh penyanyi Miriam Makeba

12 comments:

  1. I believe that She is so proud to have you as her sister so do i sis ��

    ReplyDelete
  2. Luarbiasa de.. Percaya Dia sdh menyelesaikan tugas nya de... Amazing..hidupnya sgt menberkati... Terimakasih sdh menuliskan kisah saudari kita Peni...kk sgt terharu...terpujilah Tuhan Yesus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama2 kak, semoga terus memberkati dan menginspirasi k :)

      Delete
  3. Luar biasa.... turut bangga karena punya saudara yang luar biasa... semasa hidupnya. Dia sudah bersama bapak di sorga. Sangat mengispirasi.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  5. than i miss peni my good friend. teman yg ga pernah kudapati mengeluh, ga pernah mikir 2 kali buat menolong orang , selalu enak diajak tukar pikiran krn selalu mengarah ke hal positif , yg selalu ngajak aku dan teman2 sekelas (SMA) ngumpul kalo libur kuliah di tengah2 kesibukannya pasti dia sempatkan :’) . well ternyata manusia sangat dekat dengan ke matian ya pen, sampai bertemu di kehidupan kekal :) oiya bulan 12 aku balek semoga ada waktu untuk mengunjungi kau kemakammu ya , pake kemeja hitam yg kemaren kau belikin untukku dan kau kirim dr Berastagi ke Semarang, see u soon Pen!
    You are a proud sister kak pince, salam kenal dari aku Fedro temannya Peni :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo dek Fedro, senang mengenalndu juga, dek. Senang melihat keakraban kalian sejak sekolah sampai sekarang dek. Nanti tahun baruan kabar2an ya dek, semoga kalian ada waktu ngumpul lagi di rumah ya dek kayak tahun2 kemaren :)

      Delete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Dari SD sampe tes sbmptn selalu bareng,teman yg kupercaya klau curhat,teman yg gilagilaan klau cerita korea,teman pulang sekolah bareng,teman yang isi laptopnya banyak film,teman yg selalu ngebantu aku klau ada tugas menggambar dan masih banyak lagi :')

    ReplyDelete