Tuesday 16 December 2014

Apalah Artinya Kata-kata?


Pada suatu hari saat kunjungan di desa, terdengarlah kalimat “God bless you” alias “Tuhan Memberkatimu” yang meneduhkan hati selama lebih dari sepuluh kali. Bukan saya yang menyaksikannya, apalagi menyebutkannya. Tapi dampak dari kalimat itu pasti besar, beberapa mungkin tidak terlihat di masa kini melainkan beberapa jam, hari, minggu, bulan, tahun kemudian .

Di hari yang lain terdengar pula kalimat sederhana yang meneduhkan hati, “I will help you” alias “Saya akan membantu”. Seorang rekan asing mengatakannya kepada seorang mitra kami yang sedang curhat tentang kendala-kendala yang ia hadapi termasuk makin berkurangnya bantuan dana dari luar terhadap lembaganya. Bagi seorang tamu asing tentunya berat mendengar curhatan yang frontal seperti itu, namun bantuan yang ia tawarkan dengan tulus adalah “saya akan menulis email, berdiskusi dengan rekan saya yang lain dan menulis surat kepada lembaga paying kami untuk meneruskan hubungan kerja sama tersebut”. Sesederhana itu, diucapkan dengan sungguh-sungguh dan tanpa bertendensi mencari aman.  Bukan basa-basi, seminggu kemudian saya mendapat kabar dari mitra lokal ini bahwa ia telah mendapat balasan email tindak lanjut dari Negara sang rekan asing tersebut.

Suatu hari yang panas yang panjang lainnya, saya terlibat percakapan panjang dengan tiga orang rekan asing dari dua Negara berbeda. Percakapan tentang isu-isu sosial kemasyarakatan adalah hal yang biasa. Yang berbeda adalah beberapa kali terdengar kalimat apresiasi dari ketiga rekan ini terhadap pelayanan dan terhadap para pekerja  di daerah ini. Dan secara khusus kepada saya sebagai rekan seperjalanan mereka. “…tanpa anda, siapalah kami-kami ini” kata mereka yang nota bene adalah para pemimpin-penentu arah organisasi kami secara global, dalam suatu percakapan kepada saya, “Kebijakan demi kebijakan boleh kami rumuskan dengan mudah, namun tanpa satu orang implementer, tanpa ada pengawal, tanpa ada first liner, apalah arti semuanya itu. Kami sangat berterima kasih kepada anda” Alih-alih memonitoring dampak proyek atau menodong rencana-rencana pemecahan masalah, masing-masing dari mereka malah menceritakan awal mula sepak terjang mereka masuk ke organisasi, dimulai dari seorang pekerja lapangan, dimulai dari marketplace hingga memenuhi panggilan-Nya ke ladang ini. Salah satu di antara mereka adalah seorang social expert di negaranya dan aktif menulis di jurnal serta mengajar di universitas.

Saat kami berpisah mereka tak lupa menguatkan saya, “Terima kasih. Kerja keras anda sekalian tak kan pernah sia-sia, kelak kalian akan menabur di tempat ini. Suatu saat nanti mungkin anda akan menggantikan  tempat kami” dan lagi-lagi kalimat “God bless you” tidak terdengar seperti kalimat klise.

Betapa sederhananya mengalirkan kebahagiaan itu. Pernah saya berpikir bahwa tidak terlalu penting apa yang kita katakan dibanding dengan niat dan perbuatan yang akan kita lakukan. Faktanya banyak orang yang tidak mudah menerima perbuatan baik kita yang didahului oleh kata-kata kasar ataupun discouraging. Kata-kata bukanlah sekedar robekan-robekan karbon dioksida yang menguap sia-sia di udara. Setiap kata adalah doa. Lagi-lagi ini tidak lagi menjadi klise bagi saya. Dalam banyak hal, orang lain hanya ‘meminta’ kita memberikan yang mungkin paling effortless dari kita, contohnya adalah kata-kata.

Pengalaman-pengalaman beruntun itu mau tidak mau menohok saya untuk semakin selektif mengeluarkan kata-kata, tidak pelit memberi apresiasi dan ucapan terima kasih. Yang lebih penting lagi adalah (berusaha dan sekreatif mungkin) tidak pernah menyerah menolong orang lain  yang mungkin saja tidak kita sukai walaupun dalam keadaan yang tidak nyaman. Pengalaman tersebut juga membuat saya merindukan kebahagiaan yang berasal dari hati ketika akhirnya kami pergi dari masyarakat. Bukan sekedar kebahagiaan karena secara fisik mereka telah terpenuhi, namun lebih jauh karena mereka menemukan Kasih Tuhan melalui persahabatan dengan kami (Saya).

Apakah artinya kata-kata? Berapa banyak dari kata-kata kita yang berdampak membahagiakan orang lain, mengubah kehidupan orang lain menjadi lebih baik, membawa kedamaian di bumi?

Thursday 2 October 2014

Renungan-renungan Sepele di Tahun Baru

Barusan, ketika saya membaca-baca lagi postingan lama saya di blog ini baru saya menyadari betapa pentingnya saya menuliskan refleksi saya setiap bulan setidak-tidaknya. Saya jadi menyadari banyak hal-hal sepele yang patut saya syukuri. Ketika saya membaca tulisan-tulisan yang sebenarnya masih sangat sedikit ini saya diingatkan lagi akan rasa gembira yang saya alami saat itu melalui detail-detail yang tadinya sudah saya lupakan.

1 Oktober lalu, organisasi kami baru saja mengadakan ibadah syukur  dan berbuka 30 jam puasa  karena telah  melewati setahun fiscal 2014 dan menyambut fiscal 2015. Saat ibadah berlangsung, saya mengingat banyak hal yang terkesan sepele sepanjang fiscal 2014.

Saya mulai mengingat rangkaian perayaan Hari Anak Nasional di Sumba Timur yang cukup menyita waktu sejak April hingga puncaknya di Juli. Mulai dari perlombaan-perlombaan tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Saya masih ingat saat itu saya sampai sakit dan didiagnosa tipus oleh dokter. Lucunya, diagnosa itu datang ketika 4 hari sebelum hari pertemuan kwartal staf. Jauh-jauh hari sebelumnya saya sangat antusias akan pertemuan itu karena tidak seperti biasanya, kwartal kali itu (Juni) diisi dengan games sepanjang hari. Saya terpaksa mendelegasikan banyak kegiatan tingkat kecamatan kepada teman-teman setim karena masih sangat lemah dan harus bedrest di rumah keluarga Kak Vidri, teman saya.

Akhirnya pada hari H saya berangkat ke pertemuan kwartal di desa Wunga dalam status masih pusing dan pucat ditambah suara yang masih parau dan pendengaran yang masih terganggu karena batuk parah. Sesampainya  di Wunga, entah bagaimana saya jadi sangat bersemangat, saya mulai dengan membangun tenda, masak, mencari kayu bakar sampai terpanggang sinar matahari. Aneh bin ajaib tiba-tiba saja sambil camp di Wunga selama 2 hari suara saya tiba-tiba saja pulih, saya juga lupa kapan kepala saya tidak pusing lagi, bahkan ketika berlari-lari dan loncat-loncatan, perut saya juga menjadi sangat normal (kecuali mengalami serangan mencret setiap makan pisang goreng haha)

Berkali-kali setelah itu saya hampir-hampir harus jatuh sakit (di antaranya karena manajemen waktu yang kurang baik haha), namun ajaibnya lagi setiap pagi saya hendak mengajukan ijin sakit ke atasan, saya lebih sering terdorong untuk langsung bersiap-siap dan akhirnya berangkat kerja dan sesampainya di lapangan, segala sakitpun hilang.

Beberapa kali saya merasa kecewa karena hal-hal berjalan di luar rencana, karena hasil kegiatan tidak seperti yang saya harapkan, atau tanggapan orang lain tidak seperti yang saya duga. Namun ajaibnya, dalam perjalanan saya pulang atau setelahnya selalu saja ada ‘penghiburan’ yang sengaja dipertontonkan di hadapan saya.

Satu kali saya baru saja pulang dari salah satu desa, berargumen dengan beberapa orang karena acara diselipi ‘acara’ mabuk massal, beberapa orang menjadi lepas kendali dan mulai menunjuk-nunjuk teman setim saya dan mulai meracau tidak jelas tentang organisasi kami. Para pemabuk tersebut tidak terima ‘disamperin’ oleh saya, mereka mulai menyebut-nyebut asal institusi dan garis keturunan mereka dengan harapan saya akan merasa terintimidasi. Kekecewaan saya bertambah karena acara saat itu berjalan semrawut dan orang-orang di desa tersebut tidak terlihat terlalu terganggu dengan aksi mabuk-mabukan tersebut, ditambah lagi tak seorang pun dari mereka berusaha menyelamatkan situasi saat itu, tidak melakukan aksi perlindungan yang signifikan bagi saya dan teman saya yang nota bene sama-sama perempuan dan bukan orang local. Seakan-akan menikmati perdebatan alot tersebut, Orang-orang baru memberi tahu saya bahwa orang-orang yang saya berargumen dengannya itu adalah orang-orang mabuk setelah kami berdebat panjang lebar.

Saat pulang ke rumah, tak jauh dari mulut gang, ada sekumpulan bocah yang adalah anak-anak sekolah minggu saya. Biasanya saya menyapa mereka sepulang kerja. Hari itu, acara sapa-menyapa kami menjadi tidak biasa karena tiba-tiba saja kumpulan bocah itu mengejar saya dari tempat mereka bermain, mereka berlomba-lomba berlari kea rah saya dan meraih tangan saya, “Horeee…kaka Pince pulang! Kaka Pinceeeee….” Mereka berlomba-lomba memanggil nama saya dan berebutan menggandeng dan memeluk saya hingga saya sampai di gerbang rumah. Dalam hati saya sedikit heran, biasanya anak-anak hanya memanggil nama saya dengan (agak) heboh, tapi tidak pernah sampai berebutan menggandeng atau memeluk saya. Namun, apapun itu, hari itu saya mulai mengacuhkan kejadian di desa yang sempat membuat saya merasa ‘agak bodoh’ dan malahan akhirnya sangat bersukacita karena pelukan dan keceriaan dari anak-anak tersebut.

Itu hanya satu contoh mewakili ribuan penghiburan yang selalu saya terima tanpa saya duga-duga, belum lagi perlakuan-perlakuan sepele dari teman-teman seorganisasi  yang lucu-lucu-ngeselin-nggemesin yang mana ketika saya sedang down, selalu membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Kejadian-kejadian miskom yang selalu dijadikan olok-olokan massal di kantor, reaksi teman-teman yang berlebihan membuat sesuatu yang tadinya gak penting jadi headline news, kesaksian-kesaksian doa di hari Selasa adalah sebagian kecil saja yang menjadi hiburan-hiburan ‘sepele’ saya.


Setiap orang di organisasi ini pasti merasakan hal yang sama seperti saya. Merasakan sedikit kekecewaan, tapi lebih banyak bersyukur karena kejutan-kejutan ‘sepele’ yang Tuhan munculkan dengan berbagai cara selalu menanti tanpa pernah kita prediksi. Ia pastilah mendorong kita untuk membuka setiap pintu yang ada untuk menikmati kejutan-kejutan tersebut.

Wednesday 30 April 2014

Niat Menjelma

Sebaik apakah kita bagi orang lain?
Sebaik apakah kita bagi diri sendiri?

Biasanya orang-orang yang menganggap dirinya baik kalau melakukan kesalahan yang berakibat buruk pada orang lain pasti minta maaf dan setelah itu terungkap atau tidak ia akan menganggap dirinya sebenarnya tidak berniat buruk, atau sebenarnya ada sedikit niat buruk tapi tidak sejauh itu, tapi entah kenapa akhirnya jadi begitu, yang pasti tadinya ia berniat baik, dan seterusnya.

Niat menjelma laku menghasilkan dampak.

Ada sekelompok masyarakat di Dusun Laipori, Desa Palakahembi, yang terkena dampak angin kencang beberapa bulan lalu. Tidak kurang dari empat rumah mereka hancur, termasuk juga di dalamnya bangunan Paud yang dipakai belajar oleh dua puluhan anak.

Mereka cinta rumahnya, tanahnya, anak-anaknya dan sebagainya. Oleh karena itu mereka terus bergotong royong membangun rumah kembali dari bahan-bahan yang terselamatkan. Beberapa pihak pernah menjanjikan membangun kembali rumah-rumah tersebut yang kemudian belum pernah terealisasi.

Namun bagi mereka, rumah adalah rumah, kecintaan adalah cinta yang mewujud pekerjaan membalikkan tanah-tanah keras berbatu, membelahpaku berkeping-keping kayu di Tengah angin kencang. Menularkan semangat kepada anggota keluarga yang perlu dilindungi (lansia, ibu menyusui dan anak-anak) Menjelma kebahagiaan untuk semua orang. Bagi mereka tak perlu menunggu untuk bahagia.

Niat yang tak menjelma tidaklah benar-benar ada.

Saya beberapa kali membatalkan janji kunjungan/nongkrong/ketemuan/teleponan dengan teman/mitra/saudara/kenalan/kelompok karena beberapa alasan. Padahal Bukan karena alasan-alasannya, yang jelas niat tak menjelma.

Saya sering melontarkan komentar yang akhirnya membuat orang terluka. "Saya tidak bermaksud buruk, becanda kok....." alasan-alasan klise sejenis sering menjadi tameng. Apakah ada niat yang tak menjelma?

Saya melewatkan jadwal-jadwal Doa, komitmen-komitmen yang saya buat di awal tahun, melanggar kesepakatan dengan diri saya sendiri, dengan-Nya. Apakah niat itu?

Yang jelas ketika niat sungguh, ia menjelma.
Menjelma berdampak kebaikan terhadap orang lain terutama diri sendiri. Diri yang dititahkan-Nya untuk siap dituai.

Monday 17 March 2014

Pesan Cinta

Jika suatu hari nanti, katakanlah, anda ditugaskan perang Atau ditugaskan ke daerah berkonflik Atau diberi kesempatan belajar di daerah yang tiba2 diserang wabah, dan.......itu artinya ada kemungkinan anda tidak bisa beranjak ke mana-mana lagi, ada juga kemungkinan besok Atau lusa anda tidak bisa melihat dunia ini lagi.


Pertanyaannya, siapa satu orang yang paling akan anda ingat? Apa kalimat terakhir yang paling anda ingin ia tahu?

Pasti kita sering mendapat pertanyaan semacam itu Atau sering membayangkannya. Nyatanya, kejadian benarannya tidak akan datang segampang pertanyaan tersebut. Jadi, dari mana kita bisa tahu Bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan tersebut?
Bulan lalu, di sekolah minggu, kami membagi-bagikan kertas warna-warni berbentuk hati kepada anak-anak di kelas 3-6 SD. Instruksinya adalah:
"Tuliskan pesan yang paling ingin kamu sampaikan kepada satu orang yang paling kamu ingat dan peduli saat ini"

Dalam beberapa menit saja anak-anak sudah sibuk menulis sana-sini. Mereka kelihatan antusias sekali sampai-sampai yang belum bisa menulis juga minta dituliskan pesannya oleh kakak-kakak mereka.

Yang menarik adalah banyak di antara mereka yang menulis pesan untuk orangtua, urutan kedua adalah teman mereka. Ada pesan-pesan yang ditujukan untuk orangtua mereka yang sudah lama tak pulang ke rumah yang isinya bahwa mereka mencintai orangtuanya tersebut, walaupun kepastian orangtuanya akan kembali belum ada. Ada pula pesan cinta yang ditujukan kepada orangtua yang justru sering berkata Atau bertindak kasar kepada mereka.

Saya orang dewasa yang terkadang lalai menanggapi perasaan anak-anak, terkadang Lupa bagaimana rasanya Jadi anak-anak, dan terkadang mengabaikan bahwa anak-anak adalah subjek juga, masih harus belajar dari mereka untuk 'gampang melupakan', 'gampang mengabaikan', dan 'gampang mengalihkan' benci, luka, ketidaksukaan, kejengkelan, menjadi kasih. Tidak cukup sampai di situ saja, mereka pun tidak menyia-nyiakan kapan pun waktu yang ada untuk mengekspresikan kasih mereka tersebut. Begitu sederhananya namun berdampak.

Siapa orang yang paling anda peduli saat ini?
Apa pesan yang anda paling ingin ia tau?
Tentu anda tak akan membiarkan orang tersebut tau bahwa anda mengasihinya menjelang akhir dunia, Bukan?

Saturday 4 January 2014

Trust Is Treasure

Kita pasti sudah tahu bahwa kepercayaan itu mahal harganya.
Semahal apa ia, itu yang relatif sekali. Relatif juga mahalnya dari sisi kepercayaan terhadap siapa, kepercayaan kita kepada orang lain Atau kepercayaan orang lain terhadap kita.

Saya teringat kejadian dua bulan lalu saat saya ke ATM. Waktu itu siang, saya buru-buru sekali ke ATM untuk mengambil uang tunai sebesar Rp. 100.000 bersama seorang teman. Alih-alih mengambil uang di mesin ATM yang letaknya di dalam ruangan khusus di samping bangunan bank, Teman saya mengusulkan saya mengambil uang di mesin ATM baru yang letaknya di luar pintu bank saja.

Bank tersebut memang baru saja menambah beberapa Mesin ATM di depan pintu bank yang letaknya terbuka. Sebenarnyabsaya tidak terlalu nyaman mengambil uang di tempat terbuka, tapi karena butuh cepat dan hanya 100ribu saya Oke Oke saja, lagi pula, pikir saya waktu itu, toh uang di rekening saya tinggal empat ratus ribuan lagi, Jadi kalau terlihat oleh orang yang mengantri di belakang saya juga tidak Jadi soal.

Ketika saya mulai memasukkan nomor PIN, datang seorang Bapak tua berpenampilan sederhana, dengan wajah ramah dan ceria ia mendatangi saya di mesin ATM pertama (ada 3 mesin ATM berjejer di luar dan waktu itu ada 2 pengguna), "Non, mau ambil uang berapa?" Ia bertanya pada saya.

Dengan penuh kecurigaan, saya menatap orang tua itu dari atas ke bawah, "seratus ribu..... Kenapa, Pak?" Jawab saya.

Bapak itu mulai kikuk, "Tidak, Nona, maksud saya, saya mau kirim uang dua ratus ribu ke rekening ini..." ia mengeluarkan selembar kertas kusut berisi angka-angka, "......pakai ATM nya Nona, nanti saya bayar cash" ujarnya sambil merapikan kertas itu. Pengguna mesin ATM di samping saya juga Jadi ikut mengawasi pembicaraan itu.

Semalam sebelumnya saya membaca artikel modus-modus penipuan via kartu dan mesin ATM. Jadi, kata yang pertama kali terlintas dalam benak saya adalah "waspada". Secara refleks saya langsung menggeleng ke Bapak tua tersebut.

"Tidak bisa, Nona?" Masih dengan senyum ia bertanya. Saya menggeleng lagi dan langsung pergi dari tempat itu dengan teman saya. Sambil motor melaju, dari kejauhan saya sempat mengawasi Bapak tua itu mencoba meminta tolong kepada pengguna mesin ATM di sebelah saya tadi. Mereka sempat terlibat dialog, sampai akhirnya saya sempat melihat kartu ATM digunakan sambil Bapak tua itu membacakan nomor rekening.

***

Di hari lain, saya hendak pulang dari Kelurahan Kawangu menuju Waingapu dengan menggunakan jasa ojek. Oleh masyarakat setempat saya di-stop-kan ojek yang kebetulan lewat.

Sepanjang perjalanan saya sudah siap-siap, kalau nanti om ojeknya menipu saya untuk tarif ojek, saya akan labrak dia dan hanya bayar sesuai standar yang saya tau, yaitu Rp. 15.000. Saya sering mendengar dari cerita-cerita orang lain bahwa banyak ojek yang memaksa orang lain membayar tarif sampai 2 kali lipat dari seharusnya, apalagi kalau yang memakai jasa mereka bukan orang lokal. Saya sendiri kalau harus naik ojek ke desa/kelurahan di luar waingapu biasanya mengontak ojek yang dikenal Atau direkomendasikan kantor untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Akhirnya saya tiba di tempat tujuan. Saya memberikan Rp. 15.000 ke om ojek. Om ojek ini mengamat-amati uang saya. Saya langsung pasang kuda-kuda, jurus marah-marah dengan tone 3 oktaf dinaikkan dari biasanya. Saya lihat om itu mulai membuka helm dan menunjukkan uang ke saya. Tanda-tanda minta tarif tambahan, pikir saya.

"Ini, Ibu, lebih lima ribu......." di luar dugaan saya, ia menyodorkan uang lima ribu saya.

"Bukan lima belas ribu, om?" Tanya saya.

"Tidak, Ibu. Sepuluh ribu saja. Memang begitu" ujarnya sambil tersenyum. "Saya biasa juga antar om xx ke sini bayarnya segitu" ia menyebut nama seorang staf kantor kami. Saya jadi malu sendiri. Saya berterima kasih padanya.

Di Tengah perjalanan pulang ke rumah sorenya, saya Jadi menyesal menerima kembalian lima ribu itu. Harusnya saya malah memberikan lebih kepada om ojek tadi.

Kepercayaan memang menjadi mahal karena sulit meletakkannya dengan tepat dan sulit menentukan takaran yang adil. Antara kepercayaan terhadap kita yang kita harapkan dari orang lain dan kepercayaan kita terhadap orang lain.

Seberapa sering orang mempercayai kita?
Seberapa sering kita Salah memberi kepercayaan?