Tuesday 26 May 2015

Diberu-diberu


Tentang Ibu, Mama, Mamak, Mami, Bunda, selalu punya cerita tersendiri. Kecerewetan, kehebohan, kelemahlembutan, ketelatenan mereka selalu meninggalkan perasaan nano-nano di hati.

Sebulan lalu, saya, adik saya (Peni), dan teman-teman semasa sekolah dan kuliah (Randi dan Paulina) melakukan trekking dadakan di Berastagi sekitarnya. Bukan hanya rutenya yang dadakan, kejutan demi kejutan dadakan pun kami temukan silih berganti sepanjang perjalanan.

Saat menuju Desa Raja Berneh, tempat tinggal Randi, tiba-tiba saja Paulina terlempar dari motor. Karena kaget, baik Paulina maupun kami bertiga hanya melongo lalu berganti-gantian melihat Paulina, jalanan, motor dan ojek yang membonceng Paulina. Karena bingung juga mau diapain akhirnya kami dan Paulina hanya pergi ke Puskesmas untuk memeriksa luka. Kejutan pertama. Kejutan kedua adalah ketika Bidan Puskesmas meminta Paulina mengoleskan minyak urut saja ke luka-lukanya. Jadi tidak ada intervensi negara, dalam hal ini Puskesmas, untuk menyembuhkan lukanya.

Kami  disambut dengan ajakan minum teh oleh Ibu dan abang[1] Randi sesampainya di rumah Randi. Bang S[2], abang Randi, dan Ali, adik laki-laki Randi langsung mengajak kami berdiskusi ke rumah sebelah, kelihatannya serius.

“Kenapa baru datang jam segini?” Bang S, sambil mengepulkan asap rokoknya menuding jam yang sudah menunjukkan jam sepuluh pagi (atau siang). Dia kemudian menjelaskan bahwa untuk menuju tempat tujuan trekking kami itu seharusnya dimulai sejak subuh. Saya menjawab bahwa kami sudah bersedia menginap di tengah jalan dengan membawa tenda (calon) rakitan sendiri dan perlengkapan lain. Ali juga menambahkan bahwa rute trekking tersebut sangat berbahaya dan belum pernah dilewati wisatawan umum. “Lagipula, minimal perbandingan laki-laki dan perempuan setim yang mau naik ke atas harus minimal 50:50” Bang S tidak menerima argument saya bahwa kami bukan perempuan sembarangan, bahwa kami sanggup naik ke sana dan siap tanggung resiko.

“…dan yang paling penting…” Bang S dalam posisi yang paling serius, dan masih menggunakan bahasa Batak Karo yang serius, “Mamak tidak mungkin memberi ijin ke sana…” sambil menunjuk Randi ia masih terus menghisap rokoknya. “sejak kemarin Mamak sudah bersikeras tak akan member Randi ijin ke sana” Randi hanya tertunduk lemas. Saya hanya shock terobek-robek karena sudah sampai di Raja Berneh dalam kondisi flu berat dan batuk, dan dengan ekspektasi yang tinggi. Paulina hanya diam, mungkin karena masih menyesali lengannya yang encok, atau masih bingung memikirkan kenapa ia terjatuh, atau karena memang tidak mengerti bahasa yang kami pakai dalam duplik-replik rute perjalanan tersebut.

“tapi masih bisa diusahakan, kita akan lewat jalur lain saja yang tidak terlalu berbahaya, pasti Mamak mengijinkan, kita ambil jalur pendek saja…” akhirnya Bang S (mungkin) karena tidak tega melihat wajah kami yang kuyu lesu, menawarkan solusi.

Belum sempat kami menarikan tarian hore-hore, Ibu Randi masuk ke ruangan, seperti yang diduga sebelumnya, beliau menolak mentah-mentah ide trekking itu. Bang S, sesuai skenario awal, mengadvokasi Ibu Randi agar memberi ijin dengan mengajukan proposal trekking jalur lain, yang konon, lebih singkat, lebih aman untuk perempuan. Namun, nyatanya Ibu Randi tetap konsisten tidak mengijinkan.

“kalian ini diberu-diberu (perempuan-perempuan), nakku[3]…” Ibu Randi mulai menasehati kami, dengan bahasa Batak Karo, “kurang pas melewati rute itu, itu sepi, banyak binatang buas, banyak setan, belum tentu si S ini bisa menjaga kalian. Saya sarankan kalian ke (gunung) Sibayak saja…”

Saya mulai mendongak tak percaya. Sibayak? Yang benar saja! Itu kan jalur ramai, apalagi saat hari libur, Sibayak hampir mirip lahan piknik yang dipenuhi para ABG dari SMA-SMA dan universitas-universitas Medan sekitarnya. Apa kata dunia, tiga orang professional muda (ditambah satu anak SMA hampir lulus, Si Peni, adik saya) yang (sok) haus petualangan dan orang kampung, harus naik gunung sibayak yang mainstream bingiiitssss dan seperempat perjalanannya bisa ditempuh dengan motooooor? Perjalanan kami harusnya diisi dengan arung jeram, melewati rute misterius dengan tim kecil, itulah defenisi liburan ala professional muda yang sebenarnya (versi Randi). Benar saja, Randi yang juga berpikiran sama, langsung beradu argumen dengan Ibunya. Mula-mula adu argumen itu berjalan layaknya talkshow elit di televisi, lama-kelamaan karena semua pihak makin putus asa, -ditambah Randi berusaha menyenangkan hati kami bertiga, para tamu-, suasana pun makin panas, nada bicara Randi maupun Ibunya makin meninggi meroket namun masih mendayu-dayu khas Karo.

“kalian boleh pergi, tapi kalau ada resiko apa-apa, saya tidak tanggung….” Ibu Randi akhirnya mengeluarkan ultimatum.

Siiiiiing…..
Suasana mendadak hening. Sesaat. Randi langsung melancarkan aksi replik-dupliknya. Berbagai jurus advokasi mulai dari metode  elit mediasi arbitrase dkk yang (ternyata) pernah ia pelajari saat mengambil kelas hukum bisnis, hingga metode paling tidak ilmiah seperti ngambek, balas ultimatum hingga marah-marah mengungkit-ungkit masa lalu sambil mengeluarkan air mata. Tetap saja Ibunya tidak menginjinkan dengan alasan utama merasa bertanggung jawab sebagai orangtua untuk menentukan ke mana anak perempuannya boleh pergi. Kejutan ketiga.

Sebagai penonton, saya, Paulina dan Peni hanya pasrah sambil mendukung Randi dari dalam hati. Terlepas dari fakta bahwa Paulina tidak mengerti bahasa Batak Karo sama sekali.

Singkatnya, akhirnya kami berangkat juga ke Gunung Sibayak setelah menyaksikan perdebatan alot selama 2 jam. Cerita lengkap perjalanan kami ditulis dengan indah, canggih dan elit oleh Paulina di sini. Saya tetap mensyukuri karena walaupun Gunung Sibayak, secara teknis kami tetap trekking alias benar-benar jalan kaki mulai dari rumah Randi hingga ke atas gunung dan pulangnya, ditambah lagi kami masih tetap harus jalan kaki ke sebagian besar destinasi-destinasi lainnya karena tidak menemukan angkutan umum.  

Perjalanan dua hari itu rencananya akan kami tutup dengan tambahan sehari untuk bersenang-senang menurut kebiasaan para professional muda (versi Paulina), yaitu karokean, makan-makan mahal, fitness dan menginap bertiga di hotel agak mahal di Medan. Namun sebelum terlaksana, saya  memanfaatkan hak veto saya seluas-luasnya dengan lebih dulu menolak dua ide terakhir karena kurang ekonomis. Fitness tidak masuk dalam daftar kesenangan saya, sedangkan menginap di hotel tidak membuat saya merasa lebih berbunga-bunga.  Pada dasarnya semua yang mahal dan gak nguatin kantong tidak saya sukai. Haha.

Sebelum berangkat ke Medan, saya meminta Paulina dan Randi ikut meminta ijin ke Ibu saya, sekedar pemberitahuan saja, saya yakin beliau memberi ijin pergi ke anak perempuannya yang mandiri dan telah dewasa ini. Sepanjang pengenalan saya, Ibu saya cukup moderat mendidik anak-anaknya. Apalagi saya hanya pergi sendiri tidak membawa Peni, adik sekaligus asisten serba bisa dan tangan kanan Ibu saya. Jadi, tidak akan ada adegan replik-duplik-zero-achieved yang makan waktu seperti saat di rumah Randi.

“Wah….jalan lagi? 3 hari?” Ibu saya memandang saya tak percaya ketika saya meminta ijin. Wajahnya yang tadinya ceria ketika melihat saya pulang langsung berubah jengkel. “gak kin[4] cukup jalan dua hari sama teman-temanndu[5]? Kam cuman lima hari nya di sini, masak lebih lama di luar daripada sama keluarga? Apalagi Kam masih sakit itu…” Peni masih berusaha membela saya dengan mengatakan bahwa kesempatan saya pulang kampung sangat langka dan harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dan tambahan bahwa flu dan batuk saya tiba-tiba sudah sembuh saat perjalanan ke Sibayak. “yah, tapi terserahndulah itu, kalau mau pergi pun gak bisa juga Mamak paksain, udah dewasa kok…” Ibu saya akhirnya menutup pembicaraan dengan metode umum ladies’ advocacy yang langsung menembak jantung pendengar utamanya. Kejutan keempat.

Saya segera bernegosiasi dengan Paulina dan Randi, membatalkan rencana hari ketiga kami, mengunjungi Enon, sahabat sejak SMP kami, yang baru melahirkan anak laki-lakinya, ditambah dengan mengajak makan malam murah meriah sebagai kompensasi ala professional muda (versi saya). Paulina tetap saja grumbling kepada keputusan last minute saya yang dihitungnya sebagai perencanaan dan keputusan paling plin-plan sepanjang tahun. Randi mencoba membesarkan hati saya dengan menekankan bahwa bersama-sama dengan keluarga adalah yang paling utama, apalagi dalam kunjungan pulang kampung yang sangat singkat ini. Bersenang-senang bersama teman-teman bisa dilakukan kapan saja.  Paulina masih tetap pada posisi Squidy versus Spongebob dan Patrick dengan mengingatkan Saya dan Randi bahwa perubahan-perubahan rencana liburan kami disebabkan karena masalah komunikasi kami yang kurang lancar dengan Ibu masing-masing.

Whatever lah, Paulina! Yang penting saya sudah bebas dari masa-masa kritis membuat keputusan hari itu. Dan mendapatkan empat kejutan dan banyak pencerahan dari Diberu-diberu[6] sepanjang hari-hari tersebut. Hahaha.



[1] Kakak laki-laki
[2] Namanya diinisialkan saja, demi efisiensi dan privasi
[3] Anakku: sapaan khas Batak Karo
[4] Kah: partikel khas Batak Karo
[5] Teman-temanmu: dialek Batak Karo
[6] Bahasa Batak Karo, artinya: Perempuan-perempuan

Monday 11 May 2015

Apong


Tau Shinchan kan? Iya, yang lucu, menggemaskan, agak botak, pipi agak gembung. Kalau lihat Shinchan berikutnya pasti saya ingat Apong.

Saya mengenalnya baru sekitar setahunan terakhir. Apong, anak sekolah minggu yang masih berusia empat tahunan, belum lagi terdaftar di PAUD/TK terdekat, cadel tapi cerewet, suka tidak tenang saat jam doa, tapi sangat semangat mengikuti sekolah minggu. Jika saya pulang saat hari terang, setiap melihat saya dari kejauhan, dia meloncat-loncat dan meneriaki nama saya. Ketika saya makin mendekat biasanya dia makin cuek, makin dekat lagi biasanya volume suaranya memanggil nama saya makin mengecil sambil ia menutup sebelah matanya. Haha. Masih ada yang lucu, setiap berdoa di sekolah minggu, matanya selalu tidak sepenuhnya tertutup, hanya menyipit sambil mendongak ke atas, sepertinya ingin tau apa yang terjadi ketika semua orang berdoa. Ketika saya berjalan mendekatinya, kepalanya akan makin tertunduk dan matanya akan menjadi makin menyipit, menunjukkan ia sudah benar-benar berdoa, walaupun ia tetap membuka sedikiiiiit sekali matanya untuk melihat apa yang terjadi di bawah ketika sedang berdoa. Hahaha.

Apong mengetuk pintu kosan saya seminggu setelah saya pertama kali mengajar sekolah minggu. Sebelumnya saya sering melihat dia di gang kos saya, tapi saya baru tahu kalau ia ternyata tinggal di belakang kos saya. “Kaka Pinceeeee……” suaranya yang cempreng dan cara mengetuk pintunya yang tak teratur mau tidak mau membuat saya langsung membuka pintu. Begitu saya mempersilahkan ia masuk, ia langsung berlari menuju meja saya (yang sebenarnya lebih sering tidak kelihatan seperti meja saking beraneka ragamnya barang yang bertumpuk di atasnya haha), “Ini biskuit to ka Pince to?” ia menunjuk bungkusan-bungkusan biskuit yang saya jejalkan ke container snack saya. Saya langsung memberi dia satu bungkus biskuit tersebut, dan tanpa ba-bi-bu lagi dia langsung bersorak dan lari meninggalkan saya begitu saja dan pamer ke teman-temannya. Teman-temannya berebut meminta biskuit tersebut, “kalau kamu mau itu minta ke ka Pince sana too, de pu pintu rumah masih terbuka ituuu…” saya mendengar suara cempreng Apong bersabda di luar sana.

Sejak saat itu, setiap saya pulang agak terang, Apong dan teman-temannya berganti-gantian datang ke kos meminta biskuit, cokelat atau apa saja, sehingga saya pun akhirnya berganti strategi, dari yang awalnya memberi langsung sebungkus menjadi dua keeping biskuit per orang. Kapanpun saya pulang agak terang, saya tak bisa istirahat lagi, ketukan pintu tak teratur dari anak-anak balita sekitar rumah selalu mengusik untuk saya keluar dan bak sinterklas membagi-bagi biskuit serta variannya. Dampak lainnya lagi adalah setiap jam 3 sore geng balita beranggotakan Apong, Mone dan Desta pasti sudah nongkrong di teras kos saya bermain rumah-rumahan atau apa saja sambil menanti biskuit. Biasanya kalau saya datang mereka langsung tersenyum lebar sambil berkata, “Kaka Pince, kami sudah kasih bersih Ka Pince pu rumah naaa…” sambil menyapu-nyapu teras seadanya.

Saya mulai menghentikan aksi sinterklas itu ketika suatu sore, saat Apong dan geng datang lagi ke kos untuk meminta biskuit. Saya sudah mau mengambil biskuit ke kamar ketika Bapak kos yang kebetulan lewat menegur saya, “udah, Pin, jangan dikasih terus, entar kebiasaan. Udah…udah…kamu pulang dulu sana…” Bapak kos langsung mengantar anak-anak ke gerbang. Dalam hati saya merasa agak malu juga, selama ini saya hanya menuruti maunya mereka saja, tanpa pernah dibalas dengan ucapan terima kasih dari mereka, tanpa pernah peduli mereka datang dalam keadaan masih lusuh dan tanpa pernah peduli jam makan malam mereka di keluarga. Saya ingat suatu kali persediaan biskuit saya habis, saat itu Apong datang ke kosan dan meminta biskuit, ketika saya menjelaskan bahwa biskuit habis, ia langsung protes tidak percaya, “eee…Ka Pince omong kosong, pasti ada naaaaa….” Saya tersadar selama ini tanpa sengaja saya memanjakan tanpa mendisiplinkan mereka.

Minggu berikutnya, saya memanggil Apong yang kebetulan bolak-balik di depan teras kamar saya, “Apong, sini dulu ke Ka Pince….” Ia langsung tersenyum lebar menjemput saya. Dia baru ingin meminta biskuit lagi ketika saya langsung menyela, “Apong su mandi?” ia menggangguk, dan saya lihat memang sore ini wajahnya bersih sekali, “Apong, kalau datang ke rumah orang lain, bagus tidak kalau langsung main minta biskuit?” dia tersenyum malu-malu lalu menggeleng. “Baik sudah, besok kalau datang ke rumah siapapun ketuk pintu pelan-pelan e, jangan gluduk-gluduk kayak ada mau bapukul e? Kalau orangnya tidak menyahut berarti ada istirahat, berarti tidak boleh diganggu e?” dia mengangguk lagi. “Kalau orang kasih biskuit baru terima e? Tidak boleh baminta…” dia menggangguk lagi. Saya masuk ke dalam lalu memberi ia biskuit. Dia langsung tersenyum lebar dan hendak berlari setelah menerima biskuit. “Apong, jangan pergi dulu, sini…” saya masih berlutut setinggi dia. “Kalau orang su kasih sesuatu, terus Apong senang atau tidak?” ia menggangguk sambil tersenyum malu-malu. “Terus kalau senang, bagaimana sudah? Bilang apa?” saya menatap Apong. “Terima kasih Ka Pince….” Ia sambil tersenyum malu-malu menyalami saya. “…sekarang Apong pulang sudah, tunggu makan malam sama-sama dengan Mama e?” Ia menggangguk lagi. “Daaaaah Ka Pinceeee….” Katanya sambil berlari.

Sejak saat itu, Apong mengetuk pintu kos saya dengan teratur. Kadang-kadang saat saya capai sekali, saya keluar sebentar dan meminta Apong dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing karena saya mau istirahat. Dan mereka pun menurut dengan patuh. Jika Apong dan teman-temannya datang ke kosan, mereka tidak pernah lagi meminta biskuit, biasanya mereka melihat saya pulang dan menyapa saya (sambil senyum-senyum penuh harap diberi biskuit lagi hehe), kadang saya memberikan biskuit, kadang tidak.  Tapi yang pasti balita Apong, Mone dan Desta tetap manis dan tidak protes. Setiap saya memberikan biskuit, tanpa diberi aba-aba mereka serempak mengucapkan terima kasih.

***

Saya sudah lupa berapa minggu sudah dalam 3 bulan terakhir saya absen sekolah minggu, alasan andalan saya adalah karena harus bekerja di hari minggu, mulai mengatur acara, pembicara, kegiatan fellowship bersama teman-teman sekantor, sampai kelelahan dan akhirnya sakit di hari minggu, dan di antaranya terselip juga alasan malas yang amat parah (haha). Yang terakhir saya ingat adalah ketika suatu sore, saat saya masih terkena flu parah, Apong sedang bermain kelereng di depan gerbang kos saya dan langsung berdiri begitu menyadari saya datang, “Ka Pince minggu kemarin ke mana? Kenapa tidak ikut sekolah minggu?” saking kagetnya saya sampai bingung mau menjawab apa, biasanya pertanyaan itu yang saya lontarkan ke Apong kalau saya tak melihatnya di sekolah minggu. “Oh...Ka Pince ada sakit…” saya menanggapi protesnya lemah, karena tidak sepenuhnya benar, masak ada sakit flu yang sampe berminggu-minggu sih? Haha.

Hari minggu sebelum keberangkatan saya ke Bali, saya mengajar di sekolah minggu. Di perjalanan pulang bersama rekan guru sekolah minggu, saya menyadari sesuatu. Apong tidak hadir. Sesungguhnya sudah beberapa hari saya pulang agak terang dan tidak mendapati dia bermain kelereng atau sekedar berteriak-teriak memanggil nama saya di jalan gang. Saya baru tersadar selama beberapa hari personil geng balita berkurang satu. Saya menanyakan keberadaan Apong ke guru sekolah minggu yang kenal dekat dengan keluarganya.

“Oh, Sa kira Ka Pince su tau na, Apong su dua minggu ada kembali ke Tanarara…” rekan guru sekolah minggu itu bercerita bahwa tempat yang Apong tinggali selama ini adalah rumah dari kerabat dari pihak ibunya. Ibunya sendiri adalah wanita muda single parent yang berasal dari desa dan selama ini membesarkan Apong, anak tunggalnya, dengan bekerja di Waingapu. Apong dititip ke rumah kerabatnya yang lain di desa yang letaknya sekitar lima jam perjalanan melewati jalanan berbukit berbatu dari Waingapu. Yang saya sendiri tidak yakin apakah di sana ada PAUD atau tidak. Apakah sekarang di sana sudah ada SMP dan SMA, saya meragukan. Menurut rekan guru sekolah minggu ini, Apong dititip bergantian di keluarga untuk merawatnya, kebetulan saat ini keluarga di desa itulah yang siap merawatnya. Sementara Ibunya sendiri memilih untuk bekerja ke kecamatan lain di luar Waingapu.

Apong akan tetap dicintai, didoakan, hidup utuh seutuhnya melalui orang-orang dewasa di lingkungannya, melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, menjadi transformer yang berintegritas bagi desanya, bagi Sumba Timur. Amin.  




Saturday 9 May 2015

Konferensi Meja Bundar Pengobat Gundah


Kapan kita paling mengetahui apa yang kita kerjakan telah
Komitmen 600-an peserta dari 47 negara.  
maksimal dan optimal?

Sekitar dua minggu lalu, sehabis mengikuti kongres pemuda se-Asia Pasifik, malamnya saya dan beberapa teman dari Sumba melakukan refleksi kecil-kecilan di meja bundar resto hotel (yang akhirnya saya pakai menjadi judul post ini hehe), dan hasilnya sama: selama ini kami berpikir telah melakukan banyak, nyatanya berdampak kecil, lebih parah lagi, ternyata kami belum melakukan hal yang paling esensi. Saya contohnya, sebelumnya saya oke-oke saja dengan jadwal kegiatan yang saya lakukan yang kejar-kejaran dengan deadline. Ke-‘oke-oke’-an saya itu merupakan bentuk kompensasi dari kekurangmampuan versus waktu. Haha.

Maksudnya begini, saya tau pekerjaan melakukan transformasi itu sulit. Walaupun dikerjakan bersama-sama, -saya tidak akan melupakan jargon andalan kemitraan-, tetap akan sulit. Dan mungkin juga lama. Lama sekali. Mengelola tim, mengelola kemitraan dengan berbagai pihak untuk mengusahakan transformasi tersebut (yang artinya mendorong berbagai pihak menuju transformasi) yang kesannya menyita 85% hari-hari manusia, adalah yang paling optimal. Untungnya Tuhan mengingatkan saya dengan sense of humor-nya yang keren ini. Sebuah ironi bahwa transformasi terjadi bukan terjadi karena besarnya, banyaknya, lamanya sebuah intervensi.

Banyak hal besar di depan yang perlu dilakukan untuk men-tackle isu-isu sosial di Sumba: eksploitasi anak, perhambaan, gizi, putus sekolah, anak hamil di luar nikah, misinterpretasi budaya, dan banyak lagi yang terlewat dari list saya. Semuanya harus kita selesaikan dengan berbagai intervensi. Banyak dari isu tersebut bisa terselesaikan tergantung dari para pembuat kebijakan dan keputusan dari pemerintah dan gereja. Membahas tidak terselesainya masalah, ketidakpedulian atau ketidakmampuan para pembuat kebijakan dan keputusan (apalagi kalau didengar berulang-ulang), ditambah lagi dengan cerita kegagalan-kegagalan pribadi  sama saja akan membuat kita makin terdemotivasi.

Dua hari lalu, setelah pulang dari cuti seminggu, di tengah kekusutan pikiran saya, saat-saat semangat mulai tenggelam dan mengendap dan berganti menjadi hampir-skeptis, seorang teman saya mengingatkan saya untuk bertemu. Bertemu apa? Ternyata sebelumnya kami telah punya rencana untuk melakukan mentoring anak yang metodenya mirip MLM. Wah, ternyata kegalauan dan kegundahan hati bisa membuat lupa dan tidak fokus! Ya, reminder dari teman ini kembali memberikan suntikan energi untuk kembali fokus dan mulai bergerak dari hal-hal yang paling mungkin dilakukan bersama-sama dengan orang-orang yang paling antusias melakukan perubahan.

Dan karena Tuhan memang selalu mengatur segala sesuatunya dengan baik, maka setelah itu saya juga mendapat reminder dari teman lainnya untuk segera datang ke kantornya siangnya. Untuk apa? Ternyata dua minggu lalu kami telah membicarakan tentang hal yang sama, yaitu mementor pengurus forum anak Sumba Timur. Ketika saya mencari referensi mentoring ke teman lain, teman ini juga mengingatkan saya bahwa dia telah berdiskusi dengan seorang ahli mentoring dan membicarakan kemungkinan untuk datang ke Sumba. Esoknya, ketika membuka facebook, message dari teman lainnya juga membicarakan hal yang sama, ia juga membicarakan kemungkinan membagikan pengalaman mentoring seorang ahli mentor ke gereja-gereja di Sumba, sehingga ini menjadi kegerakan massal untuk membantu anak-anak bertumbuh semakin berprestasi dan berintegritas selain menjawab persoalan kekurangan tenaga mentor untuk anak. Jadi kami mementor beberapa anak, setelah anak tersebut mencapai indikator-indikator tertentu, mereka pun dapat mementor anak lainnya.

Konferensi meja bundar yang berlangsung hingga larut malam tempo hari dan obrolan, konseling, dan coaching dengan teman-teman membuat saya tersadar kembali. Padatnya kegiatan yang memenuhi jadwal kita tidak menjamin optimalnya pekerjaan. Saatnya berhenti sejenak. Refleksi dan discernment itu penting. Kita perlu merasakan penyertaan Tuhan melalui mengingat hal-hal baik yang kita alami selama melakukan proses transformasi bersama dengan transformers lainnya. Dan terus berbenah diri dari kekurangan-kekurangan selama ini. Diam-diam saya pun bersyukur, Tuhan tidak lama-lama membiarkan saya galau-galau gak jelas. Back to life, back to reality. Saat menulis ini saya cekikikan sendiri, tidak habis pikir kenapa saya tiba-tiba menjadi sosok galaugundahgulana sesaat kemarin. Hahaha.

Apakah kita maksimal dan optimal? Kita selalu mengusahakannya, For sure, He always provides us best answers. 

Sumber Gambar: https://www.facebook.com/414Window/photos/a.179668342111403.45096.156099101134994/826664760745088/?type=1