Monday 31 October 2016

Refornita The Reformer

Saya punya beberapa teman yang kesan pertamanya versus kenyataannya sangat signifikan. Salah satunya adalah Kak Vonny. Pertama kali bertemu kak vonny di kantor tempat saya bertugas, kak vonny menunjukkan sikap lemah lembut dan mbak-mbak banget. Apalagi sebelum bertemu Kak Vonny, saya mendengar dari teman satu batch saya di organisasi, Kak Ibeth, bahwa Kak Vonny adalah rekan sepersekutuannya di Yogyakarta dan juga merupakan mantan staf di persekutuan tersebut. Imej saya tentang Kak Vonny pun makin terbentuk sebagai sosok kakak-kakak persekutuan yang lemah lembut dan bijaksana.

Tak perlu waktu lama untuk mengetahui kebenaran bahwa Kak Vonny ternyata adalah sosok yang heboh, terlalu heboh dan cerewet level internasional. Berbanding terbalik dengan usianya yang tak lagi muda, namun sesuai dengan raut wajahnya yang kekanak-kanakan, tingkahnya pun kadang kekanak-kanakan. Sering ia tertawa keras-keras sampai lupa kalau di rumah dia masih punya tugas rutin merawat babi yang belum dia penuhi. Jika berbicara di depan umum kerap tingkah lakunya bagai anak SMP, tersenyum malu-malu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kalau berdebat sesuatu yang tidak penting ia sering ngotot seperti anak SD yang sedang memperdebatkan tokoh game favorit mereka. Sering juga ia malas tau terhadap mitra-mitra kerjanya di lapangan yang nota bene mitra-mitra formal. Kalau ada mitra-mitra yang menjengkelkan, maka tanpa diplomasi ba bi bu lagi ia langsung ceplas-ceplos mengungkapkan kejengkelannya melalui raut wajah maupun kata-kata.

Saya akhirnya lupa dengan imej awal saya tentang Kak Vonny sebagai sosok kakak persekutuan yang lemah lembut dan bijaksana. Kadang-kadang Kak Vonny juga suka menasehati saya dan menjebak saya untuk curcol haha. Terutama waktu itu Kak Vonny sering menasehati saya tentang jam doa. Waktu itu saya sempat mengungkapkan pada Kak Vonny bahwa saya kesal sekali jika disuruh berdoa pagi dan merasa tersiksa melewati jam ibadah pagi. Namun Kak Vonny tidak menunjukkan kekesalan sedikitpun pada saya, malah ia memaklumi dan menanggapinya dengan candaan. Kak Vonny juga waktu itu sering bilang ke saya, “Kau itu macam pandangan kosong kalau orang omong na. Saya tau kau itu tidak bodoh, tapi coba kau lebih seimbangkan kau punya pengetahuan itu dengan spiritual juga…” biasanya saya tidak suka diatur-atur seperti itu, tapi karena Kak Vonny menyampaikannya dengan cara yang sangat kasual jadinya saya nyaman-nyaman saja mendengarnya dan agak mempertimbangkan kata-katanya juga, dan pasti sebelum itu dia berdoa banyak buat saya. Sampai suatu waktu oleh Kak Vonny dan Kak Ibeth yang menyusul datang ke Sumba saya dikenalkan dengan teman-teman persekutuannya dan diajak ikut cell group. Saya lupa waktu itu saya diajak atau saya yang maksa ikutan haha.

Entah bagaimana, lambat laun saya merasakan significant change yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin karena banyak bergaul intens dengan Kak Vonny dan Kak Ibeth, apalagi tak lama setelah itu Kak Renny, salah satu rekan persekutuan mereka juga bergabung di organisasi kami sebagai volunteer media. Pernah suatu malam saya mendengar lagu rohani (yang saya tidak tau judulnya apa dan belum pernah dengar juga sebelumnya) sampai menangis sesenggukan. Kalau disuruh menjelaskan refleksi saya tentang lagu tersebut, saya juga susah mengungkapkannya dengan kalimat yang hebat heboh keren. Entah bagaimana, karena kejadian itu pertama kali terjadi dalam hidup saya. Bagaikan sinergi konspiratif, tahun itu saya mendapatkan energi yang besar yang berbeda seperti tahun sebelumnya. Biasanya saya memang enerjik, tapi tahun itu berbeda. Saya mulai menulis visi misi pribadi, mulai menulis 100 mimpi yang tidak lagi sekedar berpusat pada diri sendiri (nyatanya sampai saat ini baru tertulis 40an mimpi hehe). Tiba-tiba saya punya keinginan kuat untuk ikut kegiatan-kegiatan pemuda di gereja. Saya sampai pernah 3 kali bolak-balik rumah pendeta dalam seminggu untuk janji ketemuan saja untuk ngobrol bikin komunitas pemuda di gereja. Padahal aslinya saya tidak sabaran menunggu hasil. Tahun itu juga saya tiba-tiba punya keinginan kuat mengajar sekolah minggu, punya keinginan kuat mementor anak-anak muda. Tahun itu juga semangat saya menggebu-gebu menyelenggarakan seminar kepemimpinan untuk pemuda. Kadang jadi tukang ketik, jadi panitia beres-beres meja yang mana itu sangat-sangat bukan saya banget.

Saya pikir tahun itu memang banyak orang yang mendoakan saya, termasuk pimpinan saya. Tapi sepertinya Kak Vonny waktu itu berdoa khusyuk buat saya. Di waktu-waktu luang Kak Vonny sering menyeletuk, “Kau itu lama-lama nanti jadi misionaris sudah…” awalnya saya anggap lelucon saja. Tapi lama-lama karena sering diucapkan, walaupun dengan nada bercanda, saya jadi horror sendiri. Dalam pikiran saya, saya masih butuh uang yang banyak dan berencana hanya mau mengabdi di organisasi selama 2 tahun setelah itu loncat ke lautan emas haha. Pernah juga dia dan Kak Ibeth mengolok-olok saya tak akan direlokasi lagi seperti staf relokasi umumnya. Dan memang benar, tahun kedua saat teman se-batch saya dipindahkan, saya tak urung dipindahkan ke daerah lain. Hingga ke tahun-tahun berikutnya. Haha.

Kak Vonny telah banyak memuridkan orang. Saya rasa kunci keberhasilan pemuridannya adalah terletak pada konsistensinya, tiap subuh ia selalu memulai aktivitas dengan doa dan renungan. Walaupun dalam banyak hal ia terkesan impulsif, dalam mengambil keputusan-keputusan penting ia sangat sabar dan berpasrah diri pada Tuhan melalui rutinitas komunikasinya dengan Tuhan. Kadang ia sampai menangis sedih dan menangis bahagia akan kesedihan dan kebahagiaan anak-anak didiknya di Forum Anak Sumba Timur. Mungkin karena ia sangat dekat dengan anak-anak tersebut bukan hanya secara fisik namun juga secara rohani ia mendoakan anak-anak satu persatu.

Dan memang Kak Vonny adalah sosok kakak persekutuan yang lemah lembut dan perhatian itu. Jika ia bepergian ke luar kota, bagaikan emak-emak professional, ia selalu pulang membawa oleh-oleh untuk teman-teman kantor, teman-teman persekutuan dan anak-anak. Saya yang kadang tak pernah berpikir akan dibawakan hadiah juga sering kecipratan. Di cell group, Kak Vonny adalah orang yang paling sering mengambil peran sebagai emak-emak, dia selalu tanggap akan ulang tahun anggota, selalu punya ide membuat orang bahagia, paling hobi memasak kalau cell group diadakan di rumahnya, paling suka ngompor-ngomporin atau menjebak orang-orang untuk curcol haha. Bagi saya ada bagusnya juga karena kadang saya pun kurang ngeh kalau saya sedang bermasalah. Paling siap sedia dan semangat kalau dikompor-komporin jadi mak comblang (selama saya kenal Kak Vonny, dia sudah menyomblangin lebih dari 10 pasangan) walaupun dirinya sendiri sampai sekarang jomblo terus. Haha. Ke-impulsif-annya tak berlaku dalam urusan percintaan. Dalam hal ini, walaupun ia punya fans club dengan anggota lumayan banyak, ia sangat taat menunggu hasil diskusinya dengan Tuhan.

Anyway, selamat panjang umur, Kak Vonny! Sesuai dengan namanya, Refornita, Kak Vonny, sadar atau tanpa ia sadari, dengan kecerewetannya dan kasualitasannya yang berkualitas telah berhasil mereformasi hidup anak-anak muda menjadi hidup yang bersinar bagi Tuhan. Salah satunya adalah saya, walaupun belum sempurna seperti yang ia doakan hehe.

31 Oktober 2016 - Waingapu





Monday 14 March 2016

Dukung Mencontek!

"Saya mendukung siswa yang mencontek dalam ujian...." Anarara, salah satu pengurus kelompok anak dari Desa Tawui menyatakan pendapatnya dan menantang lawannya berargumen.

Anarara, gadis kecil yang dibesarkan dalam keluarga beragama yang taat, disiplin yang kuat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan positif di desanya dan bercita-cita menjadi Pendeta,
tentu tak pernah sekalipun mendukung semua bentuk kecurangan yang dilakukan siswa saat ujian. Ia mengemukakan kalimat tersebut untuk mengajari pengurus desa lainnya yang lebih 'hijau' dalam debat. Akhir Februari lalu, tiga puluhan pengurus anak dari empat desa di Kecamatan Pinupahar: Ramuk, Mahaniwa, Wanggabewa dan Tawui berkumpul selama dua hari di Tawui untuk mengikuti kamp pengurus kelompok anak. Dalam kamp tersebut selain mereka disegarkan dengan devosi mengenai kejujuran dan pengembangan bakat, anak-anak juga diberi materi-materi penunjang yaitu: Debating skills, writing skills dan event organizing skills. Hal ini bertujuan meningkatkan kepercayaan diri mereka dan meningkatkan kualitas kepanitiaan mereka dalam menangani acara-acara kreativitas anak yang sering mereka selenggarakan di desa masing-masing.

Ini adalah kali pertama anak-anak berdebat secara formal. Mosi yang dipakai adalah "Sidang ini percaya bahwa siswa menerima jawaban ujian dari guru saat ujian nasional diperbolehkan". Apalagi sistem yang digunakan adalah Asian Parlementary Debate, di mana setiap tim terdiri atas 3 orang, masing-masing pada tim Affirmative (pro) dan Negative (kontra). Awalnya anak-anak takut-takut mengungkapkan mengungkapkan argumen mereka. Khususnya setiap pembicara pertama tiap tim yang diberi waktu bicara lebih lama. Masalah klasik anak-anak ini adalah takut salah dan takut ditertawakan oleh teman lainnya jika mereka salah bicara. Namun, kami sepakat agar tidak ada anak yg boleh tertawa saat temannya berdebat. Dan semua anak diberi kesempatan berdebat dengan metode ini. Lambat laun, mereka mulai percaya diri sampai-sampai batas waktu bicara yang diberikan tak dirasa cukup oleh para debater cilik ini.

Bagi anak sendiri, debat memiliki daya tarik sendiri karena mereka akhirnya punya kesempatan berbicara dan mendebat pemikiran teman lainnya dengan cara yang santun. Satu hal yang sulit karena banyak anak yang terbiasa mendebat temannya bahkan sebelum temannya selesai berbicara. Melalui debat mereka juga belajar mendengar dan menghargai pendapat orang lain serta berpikir logis. Akhirnya, waktu untuk sesi debat terpaksa diperpanjang karena antusiasme anak untuk berdebat susah dibendung hehe.

Diam-diam saya merasa sedikit iri kepada mereka yang masih kecil tapi berani melawan ketakutan mereka sendiri dan berani mendebat walalupun baru saja belajar tentang apa itu debat. Saya teringat ketika saya pertama kali berdebat di kampus, di usia yang jauh lebih tua dari mereka dan bagaimana saya dan tim sampai salah mempersiapkan mosi debat karena panik yang kelewat besar.

Pengharapan saya terhadap mereka, calon-calon pemimpin masa depan ini tetap tinggi. Saya membayangkan tahun depan mereka bisa mendebat orang-orang dewasa di desa mereka saat musrenbangdes dalam memperjuangkan hak-hak anak. Mereka akan mempersiapkan 'mosi' mereka dengan baik, menyiapkan data-data pendukung tentang keadaan siswa dan gap pendidikan di desa mereka. Mereka juga akan mendebat bila ada kepala desa yang menganggap kegiatan-kegiatan yang mendukung minat dan bakat anak adalah pemborosan. Mereka juga akan memperjuangkan agar prioritas pembangunan di desa bukan hanya pembangunan fisik tapi terlebih pembangunan mental dan karakter generasi, terutama anak-anak yang rentang hidupnya lebih panjang. Mereka akan memperjuangkan agar guru-guru aktif di sekolah, agar transportasi dari rumah ke sekolah mereka difasilitasi, agar mereka tak perlu berangkat dari rumah jam 5 pagi dan tiba di rumah jam 4 sore dengan peluh dan lapar karena jarak yang jauh, agar lomba-lomba minat bakat di desa diperbanyak, agar pembinaan di sanggar-sanggar anak di desa diperbanyak, agar beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi diperbanyak.

Anak-anak layak diperjuangkan haknya bukan karena mereka objek, mereka adalah subjek perjuangan itu sendiri.

Mereka adalah Generasi Sumba Bersinar, mereka sedang berlari menuju masa depan yang bersinar.

Saturday 5 March 2016

(Another version of) Trust is Treasure



Jam 7 suatu jumat pagi, saya buru-buru harus memenuhi janji temu dengan seorang mitra yang tinggal agak jauh dari kantor saya. Pagi itu teman-teman kantor masih menikmati jam olah raga pagi, sehingga saya mencari ojek di depan kantor. Tidak jauh dari kantor, duduk di atas batu, seorang Bapak tua berperawakan mongol berkaos putih dan celana tanggung dengan sebuah motor di sampingnya. Dia melihat saya sambil berujar sesuatu seperti “ojek?”, walaupun gaya Bapak tersebut agak mencurigakan, saya tetap mengasumsikan ia adalah ojek sehingga saya meminta Bapak tersebut mengantarkan saya ke alamat yang diminta. Di tengah perjalanan saya sempat memikirkan beberapa jurus melarikan diri dari atas motor kalau-kalau om ojek ini bertindak macam-macam.

“Nona, ini su to dem tempat?” om ojek tiba-tiba berhenti. Saya melihat sekeliling, Saking seriusnya saya memikirkan alternatif-alternatif penyelamatan diri, saya tidak sadar telah tiba di tujuan.
“Benar su om, bae su” saya turun sambil merogoh dompet ingin mengeluarkan uang.
“Biar sudah saya tunggu Nona di luar sini saja sampai selesai” Om ojek menolak saya memberikan uang. Kecurigaan saya pun makin meruncing.
“..tapi saya masih lama om, bisa setengah jam” saya memberi alasan.
“iya, biar sudah tidak apa-apa, saya tunggu saja” Om ojek masih ngotot. Yang membuat saya makin curiga adalah kengototannya yang agak gugup, persis penipu. “Pagi begini masih susah cari ojek, biar su saya tunggu saja, tidak lama” Om ojek seperti menjawab kecurigaan saya. Saya mulai menimbang-nimbang, demi alas an kepraktisan saya malas juga harus cari ojek lagi setelah ini, lagipula jarak dari tempat ini ke kantor saya hanya maksimal 2 kilo, dan agak ramai, plus saya masih bisa melompat dari motor kalau dia macam-macam, plus saya sedang membawa kunci kamar saya, yang nota bene mainan kuncinya agak runcing dan bisa saya manfaatkan untuk mengunci gerakan om ojek ini kalau dia macam-macam, plus alasan pembenar lainnya yang ada di kepala saya saat itu. Akhirnya saya mengiyakan dan langsung buru-buru ke rumah mitra yang telah berjanji bertemu dengan saya.

Tepat setengah jam setelahnya, pembicaraan itu selesai dan saya menuju tempat tunggu om ojek. Benar, ternyata Om ojek masih ada di sana menunggu. “Sudah selesai, Nona?” Om ojek masih sempat bertanya sebelum kami berangkat kembali ke kantor. Di perjalanan, kecurigaan saya belum juga hilang. Dengan posisi awas saya masih memikirkan alternatif penyelamatan diri (haha). Sambil juga memikirkan bagaimana jika saya tiba di kantor lebih dari jam 8, yang artinya saya akan telat, yang arti lainnya juga saya akan dipotong cuti setengah hari.

Kecurigaan dan kekhawatiran saya terhenti sejenak ketika motor tiba-tiba berhenti. Namun alarm tubuh saya makin awas.

“Di sini di kantor to, Nona?” Om ojek menoleh. Lagi-lagi, saking sibuknya berkutat dengan pikiran, saya tidak sadar sudah berada di depan kantor. “Oh iya om” saya melangkah turun dan melihat isi dompet. Saya mulai panik karena ternyata isi dompet adalah lembaran uang seratus ribuan  “Wah om…maaf saya tidak ada uang kecil, pakai uang seratus ribu boleh kah?” saya sambil membolak-balik dompet berharap ada uang sepuluh ribu yang terselip. Tanpa ba-bi-bu, om ojek langsung membuka dompet dan memilah-milah lembaran uang di dalamnya. Tanpa sengaja saya melirik isi dompetnya, ternyata ada banyak lembaran seratus ribuan, lima puluh ribuan, sepuluh ribuan, hingga lima ribuan. Saya sempat berpikiran jangan-jangan itu semua adalah uang palsu. Namun, pemikiran itu agak sirna karena lembaran-lembaran tersebut terlihat agak kusam, seperti hasil dari transaksi dagang di lapangan. Saya bersyukur ada uang sepuluh ribuan di dalamnya, karena paling tidak uang seratus ribu saya tidak akan dikembalikan dengan uang lima puluh ribu dengan alasan tidak cukup ‘uang kecil’ (haha).

“Ini, Nona…” Om ojek menyerahkan saya sejumlah uang, saya menghitung dengan cepat, jumlahnya Sembilan puluh lima ribu rupiah.
“eh…ini kebanyakan om,” saya mengembalikan sepuluh ribu lagi ke om ojek.
“Tidak…tidak, pas sudah itu…terlalu banyak lagi itu…” Om ojek menolah uang dari saya. “Pas sudah, ojek hanya lima ribu saja sebenarnya, kan hanya dekat saja” ia memberi alasan.
“tapi tadi itu kan om tunggu selama setengah jam…” saya masih ngotot dengan sepuluh ribu  di tangan kanan untuk diserahkan ke Om ojek. Om ojek tetap mengelak.
“…tidak bisa, Nona…itu tarif sudah itu, mana kita mau bikin-bikin tarif lagi…pas sudah…sama saja” “……waduh, terima kasih su e, om…” dengan masih agak bingung, akhirnya saya menarik uang sepuluh ribu itu dan menyimpan kembalian uang sebanyak Sembilan puluh lima ribu itu kembali ke dalam dompet. Om ojek pun akhirnya pergi setelah saya berterima kasih yang kedua kalinya.

Saya sempat menceritakan keajaiban hari itu –Om Ojek berwajah Mongol beruang banyak-- ke beberapa teman dan iseng-iseng kami memperhatikan uang kembalian, ternyata uang itu adalah uang asli (haha). “Mungkin pekerjaan utamanya adalah pedagang, nyambi ojek, makanya masih pagi uangnya sudah banyak” salah satu teman saya berkomentar. Sepulang rumah, selesai berganti pakaian, saya masih memeriksa pakaian kantor saya, jangan-jangan ada penyadap suara yang tertempel atau alat spionase lainnya, ternyata tida ada satu pun. Benar ternyata bahwa Om Ojek tersebut bukanlah agen mata-mata seperti yang saya duga.

Oya, Saya akhirnya masuk kantor tepat waktu. Sambil melangkah ke ruangan dengan kebingungan, saya masih mencerna kejadian barusan. Banyak hal yang mencurigakan dari Om ojek tersebut, namun pada akhirnya tak satupun dari kecurigaan saya terbukti, malah sebaliknya om Ojek bermotivasi dan berbuat baik terhadap saya. Saya baru sadar saya belum sempat mensyukuri kejadian tadi dan belum juga meminta maaf (kepada Tuhan) atas prasangka buruk saya.

Sekali lagi, Trust is Treasure, bijak-bijaklah meletakkannya!


Note: "Trust is Treasure" pernah menjadi judul postingan saya dengan pengalaman sejenis:  http://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.htmlhttp://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.html