Monday 11 May 2015

Apong


Tau Shinchan kan? Iya, yang lucu, menggemaskan, agak botak, pipi agak gembung. Kalau lihat Shinchan berikutnya pasti saya ingat Apong.

Saya mengenalnya baru sekitar setahunan terakhir. Apong, anak sekolah minggu yang masih berusia empat tahunan, belum lagi terdaftar di PAUD/TK terdekat, cadel tapi cerewet, suka tidak tenang saat jam doa, tapi sangat semangat mengikuti sekolah minggu. Jika saya pulang saat hari terang, setiap melihat saya dari kejauhan, dia meloncat-loncat dan meneriaki nama saya. Ketika saya makin mendekat biasanya dia makin cuek, makin dekat lagi biasanya volume suaranya memanggil nama saya makin mengecil sambil ia menutup sebelah matanya. Haha. Masih ada yang lucu, setiap berdoa di sekolah minggu, matanya selalu tidak sepenuhnya tertutup, hanya menyipit sambil mendongak ke atas, sepertinya ingin tau apa yang terjadi ketika semua orang berdoa. Ketika saya berjalan mendekatinya, kepalanya akan makin tertunduk dan matanya akan menjadi makin menyipit, menunjukkan ia sudah benar-benar berdoa, walaupun ia tetap membuka sedikiiiiit sekali matanya untuk melihat apa yang terjadi di bawah ketika sedang berdoa. Hahaha.

Apong mengetuk pintu kosan saya seminggu setelah saya pertama kali mengajar sekolah minggu. Sebelumnya saya sering melihat dia di gang kos saya, tapi saya baru tahu kalau ia ternyata tinggal di belakang kos saya. “Kaka Pinceeeee……” suaranya yang cempreng dan cara mengetuk pintunya yang tak teratur mau tidak mau membuat saya langsung membuka pintu. Begitu saya mempersilahkan ia masuk, ia langsung berlari menuju meja saya (yang sebenarnya lebih sering tidak kelihatan seperti meja saking beraneka ragamnya barang yang bertumpuk di atasnya haha), “Ini biskuit to ka Pince to?” ia menunjuk bungkusan-bungkusan biskuit yang saya jejalkan ke container snack saya. Saya langsung memberi dia satu bungkus biskuit tersebut, dan tanpa ba-bi-bu lagi dia langsung bersorak dan lari meninggalkan saya begitu saja dan pamer ke teman-temannya. Teman-temannya berebut meminta biskuit tersebut, “kalau kamu mau itu minta ke ka Pince sana too, de pu pintu rumah masih terbuka ituuu…” saya mendengar suara cempreng Apong bersabda di luar sana.

Sejak saat itu, setiap saya pulang agak terang, Apong dan teman-temannya berganti-gantian datang ke kos meminta biskuit, cokelat atau apa saja, sehingga saya pun akhirnya berganti strategi, dari yang awalnya memberi langsung sebungkus menjadi dua keeping biskuit per orang. Kapanpun saya pulang agak terang, saya tak bisa istirahat lagi, ketukan pintu tak teratur dari anak-anak balita sekitar rumah selalu mengusik untuk saya keluar dan bak sinterklas membagi-bagi biskuit serta variannya. Dampak lainnya lagi adalah setiap jam 3 sore geng balita beranggotakan Apong, Mone dan Desta pasti sudah nongkrong di teras kos saya bermain rumah-rumahan atau apa saja sambil menanti biskuit. Biasanya kalau saya datang mereka langsung tersenyum lebar sambil berkata, “Kaka Pince, kami sudah kasih bersih Ka Pince pu rumah naaa…” sambil menyapu-nyapu teras seadanya.

Saya mulai menghentikan aksi sinterklas itu ketika suatu sore, saat Apong dan geng datang lagi ke kos untuk meminta biskuit. Saya sudah mau mengambil biskuit ke kamar ketika Bapak kos yang kebetulan lewat menegur saya, “udah, Pin, jangan dikasih terus, entar kebiasaan. Udah…udah…kamu pulang dulu sana…” Bapak kos langsung mengantar anak-anak ke gerbang. Dalam hati saya merasa agak malu juga, selama ini saya hanya menuruti maunya mereka saja, tanpa pernah dibalas dengan ucapan terima kasih dari mereka, tanpa pernah peduli mereka datang dalam keadaan masih lusuh dan tanpa pernah peduli jam makan malam mereka di keluarga. Saya ingat suatu kali persediaan biskuit saya habis, saat itu Apong datang ke kosan dan meminta biskuit, ketika saya menjelaskan bahwa biskuit habis, ia langsung protes tidak percaya, “eee…Ka Pince omong kosong, pasti ada naaaaa….” Saya tersadar selama ini tanpa sengaja saya memanjakan tanpa mendisiplinkan mereka.

Minggu berikutnya, saya memanggil Apong yang kebetulan bolak-balik di depan teras kamar saya, “Apong, sini dulu ke Ka Pince….” Ia langsung tersenyum lebar menjemput saya. Dia baru ingin meminta biskuit lagi ketika saya langsung menyela, “Apong su mandi?” ia menggangguk, dan saya lihat memang sore ini wajahnya bersih sekali, “Apong, kalau datang ke rumah orang lain, bagus tidak kalau langsung main minta biskuit?” dia tersenyum malu-malu lalu menggeleng. “Baik sudah, besok kalau datang ke rumah siapapun ketuk pintu pelan-pelan e, jangan gluduk-gluduk kayak ada mau bapukul e? Kalau orangnya tidak menyahut berarti ada istirahat, berarti tidak boleh diganggu e?” dia mengangguk lagi. “Kalau orang kasih biskuit baru terima e? Tidak boleh baminta…” dia menggangguk lagi. Saya masuk ke dalam lalu memberi ia biskuit. Dia langsung tersenyum lebar dan hendak berlari setelah menerima biskuit. “Apong, jangan pergi dulu, sini…” saya masih berlutut setinggi dia. “Kalau orang su kasih sesuatu, terus Apong senang atau tidak?” ia menggangguk sambil tersenyum malu-malu. “Terus kalau senang, bagaimana sudah? Bilang apa?” saya menatap Apong. “Terima kasih Ka Pince….” Ia sambil tersenyum malu-malu menyalami saya. “…sekarang Apong pulang sudah, tunggu makan malam sama-sama dengan Mama e?” Ia menggangguk lagi. “Daaaaah Ka Pinceeee….” Katanya sambil berlari.

Sejak saat itu, Apong mengetuk pintu kos saya dengan teratur. Kadang-kadang saat saya capai sekali, saya keluar sebentar dan meminta Apong dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing karena saya mau istirahat. Dan mereka pun menurut dengan patuh. Jika Apong dan teman-temannya datang ke kosan, mereka tidak pernah lagi meminta biskuit, biasanya mereka melihat saya pulang dan menyapa saya (sambil senyum-senyum penuh harap diberi biskuit lagi hehe), kadang saya memberikan biskuit, kadang tidak.  Tapi yang pasti balita Apong, Mone dan Desta tetap manis dan tidak protes. Setiap saya memberikan biskuit, tanpa diberi aba-aba mereka serempak mengucapkan terima kasih.

***

Saya sudah lupa berapa minggu sudah dalam 3 bulan terakhir saya absen sekolah minggu, alasan andalan saya adalah karena harus bekerja di hari minggu, mulai mengatur acara, pembicara, kegiatan fellowship bersama teman-teman sekantor, sampai kelelahan dan akhirnya sakit di hari minggu, dan di antaranya terselip juga alasan malas yang amat parah (haha). Yang terakhir saya ingat adalah ketika suatu sore, saat saya masih terkena flu parah, Apong sedang bermain kelereng di depan gerbang kos saya dan langsung berdiri begitu menyadari saya datang, “Ka Pince minggu kemarin ke mana? Kenapa tidak ikut sekolah minggu?” saking kagetnya saya sampai bingung mau menjawab apa, biasanya pertanyaan itu yang saya lontarkan ke Apong kalau saya tak melihatnya di sekolah minggu. “Oh...Ka Pince ada sakit…” saya menanggapi protesnya lemah, karena tidak sepenuhnya benar, masak ada sakit flu yang sampe berminggu-minggu sih? Haha.

Hari minggu sebelum keberangkatan saya ke Bali, saya mengajar di sekolah minggu. Di perjalanan pulang bersama rekan guru sekolah minggu, saya menyadari sesuatu. Apong tidak hadir. Sesungguhnya sudah beberapa hari saya pulang agak terang dan tidak mendapati dia bermain kelereng atau sekedar berteriak-teriak memanggil nama saya di jalan gang. Saya baru tersadar selama beberapa hari personil geng balita berkurang satu. Saya menanyakan keberadaan Apong ke guru sekolah minggu yang kenal dekat dengan keluarganya.

“Oh, Sa kira Ka Pince su tau na, Apong su dua minggu ada kembali ke Tanarara…” rekan guru sekolah minggu itu bercerita bahwa tempat yang Apong tinggali selama ini adalah rumah dari kerabat dari pihak ibunya. Ibunya sendiri adalah wanita muda single parent yang berasal dari desa dan selama ini membesarkan Apong, anak tunggalnya, dengan bekerja di Waingapu. Apong dititip ke rumah kerabatnya yang lain di desa yang letaknya sekitar lima jam perjalanan melewati jalanan berbukit berbatu dari Waingapu. Yang saya sendiri tidak yakin apakah di sana ada PAUD atau tidak. Apakah sekarang di sana sudah ada SMP dan SMA, saya meragukan. Menurut rekan guru sekolah minggu ini, Apong dititip bergantian di keluarga untuk merawatnya, kebetulan saat ini keluarga di desa itulah yang siap merawatnya. Sementara Ibunya sendiri memilih untuk bekerja ke kecamatan lain di luar Waingapu.

Apong akan tetap dicintai, didoakan, hidup utuh seutuhnya melalui orang-orang dewasa di lingkungannya, melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, menjadi transformer yang berintegritas bagi desanya, bagi Sumba Timur. Amin.  




No comments:

Post a Comment