Monday 14 March 2016

Dukung Mencontek!

"Saya mendukung siswa yang mencontek dalam ujian...." Anarara, salah satu pengurus kelompok anak dari Desa Tawui menyatakan pendapatnya dan menantang lawannya berargumen.

Anarara, gadis kecil yang dibesarkan dalam keluarga beragama yang taat, disiplin yang kuat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan positif di desanya dan bercita-cita menjadi Pendeta,
tentu tak pernah sekalipun mendukung semua bentuk kecurangan yang dilakukan siswa saat ujian. Ia mengemukakan kalimat tersebut untuk mengajari pengurus desa lainnya yang lebih 'hijau' dalam debat. Akhir Februari lalu, tiga puluhan pengurus anak dari empat desa di Kecamatan Pinupahar: Ramuk, Mahaniwa, Wanggabewa dan Tawui berkumpul selama dua hari di Tawui untuk mengikuti kamp pengurus kelompok anak. Dalam kamp tersebut selain mereka disegarkan dengan devosi mengenai kejujuran dan pengembangan bakat, anak-anak juga diberi materi-materi penunjang yaitu: Debating skills, writing skills dan event organizing skills. Hal ini bertujuan meningkatkan kepercayaan diri mereka dan meningkatkan kualitas kepanitiaan mereka dalam menangani acara-acara kreativitas anak yang sering mereka selenggarakan di desa masing-masing.

Ini adalah kali pertama anak-anak berdebat secara formal. Mosi yang dipakai adalah "Sidang ini percaya bahwa siswa menerima jawaban ujian dari guru saat ujian nasional diperbolehkan". Apalagi sistem yang digunakan adalah Asian Parlementary Debate, di mana setiap tim terdiri atas 3 orang, masing-masing pada tim Affirmative (pro) dan Negative (kontra). Awalnya anak-anak takut-takut mengungkapkan mengungkapkan argumen mereka. Khususnya setiap pembicara pertama tiap tim yang diberi waktu bicara lebih lama. Masalah klasik anak-anak ini adalah takut salah dan takut ditertawakan oleh teman lainnya jika mereka salah bicara. Namun, kami sepakat agar tidak ada anak yg boleh tertawa saat temannya berdebat. Dan semua anak diberi kesempatan berdebat dengan metode ini. Lambat laun, mereka mulai percaya diri sampai-sampai batas waktu bicara yang diberikan tak dirasa cukup oleh para debater cilik ini.

Bagi anak sendiri, debat memiliki daya tarik sendiri karena mereka akhirnya punya kesempatan berbicara dan mendebat pemikiran teman lainnya dengan cara yang santun. Satu hal yang sulit karena banyak anak yang terbiasa mendebat temannya bahkan sebelum temannya selesai berbicara. Melalui debat mereka juga belajar mendengar dan menghargai pendapat orang lain serta berpikir logis. Akhirnya, waktu untuk sesi debat terpaksa diperpanjang karena antusiasme anak untuk berdebat susah dibendung hehe.

Diam-diam saya merasa sedikit iri kepada mereka yang masih kecil tapi berani melawan ketakutan mereka sendiri dan berani mendebat walalupun baru saja belajar tentang apa itu debat. Saya teringat ketika saya pertama kali berdebat di kampus, di usia yang jauh lebih tua dari mereka dan bagaimana saya dan tim sampai salah mempersiapkan mosi debat karena panik yang kelewat besar.

Pengharapan saya terhadap mereka, calon-calon pemimpin masa depan ini tetap tinggi. Saya membayangkan tahun depan mereka bisa mendebat orang-orang dewasa di desa mereka saat musrenbangdes dalam memperjuangkan hak-hak anak. Mereka akan mempersiapkan 'mosi' mereka dengan baik, menyiapkan data-data pendukung tentang keadaan siswa dan gap pendidikan di desa mereka. Mereka juga akan mendebat bila ada kepala desa yang menganggap kegiatan-kegiatan yang mendukung minat dan bakat anak adalah pemborosan. Mereka juga akan memperjuangkan agar prioritas pembangunan di desa bukan hanya pembangunan fisik tapi terlebih pembangunan mental dan karakter generasi, terutama anak-anak yang rentang hidupnya lebih panjang. Mereka akan memperjuangkan agar guru-guru aktif di sekolah, agar transportasi dari rumah ke sekolah mereka difasilitasi, agar mereka tak perlu berangkat dari rumah jam 5 pagi dan tiba di rumah jam 4 sore dengan peluh dan lapar karena jarak yang jauh, agar lomba-lomba minat bakat di desa diperbanyak, agar pembinaan di sanggar-sanggar anak di desa diperbanyak, agar beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi diperbanyak.

Anak-anak layak diperjuangkan haknya bukan karena mereka objek, mereka adalah subjek perjuangan itu sendiri.

Mereka adalah Generasi Sumba Bersinar, mereka sedang berlari menuju masa depan yang bersinar.

No comments:

Post a Comment