Saturday 4 January 2014

Trust Is Treasure

Kita pasti sudah tahu bahwa kepercayaan itu mahal harganya.
Semahal apa ia, itu yang relatif sekali. Relatif juga mahalnya dari sisi kepercayaan terhadap siapa, kepercayaan kita kepada orang lain Atau kepercayaan orang lain terhadap kita.

Saya teringat kejadian dua bulan lalu saat saya ke ATM. Waktu itu siang, saya buru-buru sekali ke ATM untuk mengambil uang tunai sebesar Rp. 100.000 bersama seorang teman. Alih-alih mengambil uang di mesin ATM yang letaknya di dalam ruangan khusus di samping bangunan bank, Teman saya mengusulkan saya mengambil uang di mesin ATM baru yang letaknya di luar pintu bank saja.

Bank tersebut memang baru saja menambah beberapa Mesin ATM di depan pintu bank yang letaknya terbuka. Sebenarnyabsaya tidak terlalu nyaman mengambil uang di tempat terbuka, tapi karena butuh cepat dan hanya 100ribu saya Oke Oke saja, lagi pula, pikir saya waktu itu, toh uang di rekening saya tinggal empat ratus ribuan lagi, Jadi kalau terlihat oleh orang yang mengantri di belakang saya juga tidak Jadi soal.

Ketika saya mulai memasukkan nomor PIN, datang seorang Bapak tua berpenampilan sederhana, dengan wajah ramah dan ceria ia mendatangi saya di mesin ATM pertama (ada 3 mesin ATM berjejer di luar dan waktu itu ada 2 pengguna), "Non, mau ambil uang berapa?" Ia bertanya pada saya.

Dengan penuh kecurigaan, saya menatap orang tua itu dari atas ke bawah, "seratus ribu..... Kenapa, Pak?" Jawab saya.

Bapak itu mulai kikuk, "Tidak, Nona, maksud saya, saya mau kirim uang dua ratus ribu ke rekening ini..." ia mengeluarkan selembar kertas kusut berisi angka-angka, "......pakai ATM nya Nona, nanti saya bayar cash" ujarnya sambil merapikan kertas itu. Pengguna mesin ATM di samping saya juga Jadi ikut mengawasi pembicaraan itu.

Semalam sebelumnya saya membaca artikel modus-modus penipuan via kartu dan mesin ATM. Jadi, kata yang pertama kali terlintas dalam benak saya adalah "waspada". Secara refleks saya langsung menggeleng ke Bapak tua tersebut.

"Tidak bisa, Nona?" Masih dengan senyum ia bertanya. Saya menggeleng lagi dan langsung pergi dari tempat itu dengan teman saya. Sambil motor melaju, dari kejauhan saya sempat mengawasi Bapak tua itu mencoba meminta tolong kepada pengguna mesin ATM di sebelah saya tadi. Mereka sempat terlibat dialog, sampai akhirnya saya sempat melihat kartu ATM digunakan sambil Bapak tua itu membacakan nomor rekening.

***

Di hari lain, saya hendak pulang dari Kelurahan Kawangu menuju Waingapu dengan menggunakan jasa ojek. Oleh masyarakat setempat saya di-stop-kan ojek yang kebetulan lewat.

Sepanjang perjalanan saya sudah siap-siap, kalau nanti om ojeknya menipu saya untuk tarif ojek, saya akan labrak dia dan hanya bayar sesuai standar yang saya tau, yaitu Rp. 15.000. Saya sering mendengar dari cerita-cerita orang lain bahwa banyak ojek yang memaksa orang lain membayar tarif sampai 2 kali lipat dari seharusnya, apalagi kalau yang memakai jasa mereka bukan orang lokal. Saya sendiri kalau harus naik ojek ke desa/kelurahan di luar waingapu biasanya mengontak ojek yang dikenal Atau direkomendasikan kantor untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Akhirnya saya tiba di tempat tujuan. Saya memberikan Rp. 15.000 ke om ojek. Om ojek ini mengamat-amati uang saya. Saya langsung pasang kuda-kuda, jurus marah-marah dengan tone 3 oktaf dinaikkan dari biasanya. Saya lihat om itu mulai membuka helm dan menunjukkan uang ke saya. Tanda-tanda minta tarif tambahan, pikir saya.

"Ini, Ibu, lebih lima ribu......." di luar dugaan saya, ia menyodorkan uang lima ribu saya.

"Bukan lima belas ribu, om?" Tanya saya.

"Tidak, Ibu. Sepuluh ribu saja. Memang begitu" ujarnya sambil tersenyum. "Saya biasa juga antar om xx ke sini bayarnya segitu" ia menyebut nama seorang staf kantor kami. Saya jadi malu sendiri. Saya berterima kasih padanya.

Di Tengah perjalanan pulang ke rumah sorenya, saya Jadi menyesal menerima kembalian lima ribu itu. Harusnya saya malah memberikan lebih kepada om ojek tadi.

Kepercayaan memang menjadi mahal karena sulit meletakkannya dengan tepat dan sulit menentukan takaran yang adil. Antara kepercayaan terhadap kita yang kita harapkan dari orang lain dan kepercayaan kita terhadap orang lain.

Seberapa sering orang mempercayai kita?
Seberapa sering kita Salah memberi kepercayaan?

5 comments:

  1. Itu karena mayoritas hidup dan orang2 jaman sekarang udh abu2 cuk...

    ReplyDelete
  2. Be positive and wise, lakukan yg terbaik dlm hidup kita. Yg lain biarlah God yg urus.

    ReplyDelete
  3. karena ketidakpercayaan, kita kehilangan satu kesempatan berbuat kebaikan,,,

    ReplyDelete
  4. Memang susah kadang cuk, disaat kita percaya eh malah ditipu. Saat kita gak percaya eh rupanya ada yang kecewa

    ReplyDelete