Saturday 17 October 2015

Seleksi Peran Skenario A


Siang yang menyengat di pertengahan September lalu bagi saya berkali-kali lipat dari panas yang normal. Hari itu hari Selasa. Saya berjalan kaki hampir seperempat luas desa B. Melintasi rumah-rumah penduduk dan masuk ke rumah-rumah tersebut secara acak, saya mendapatkan banyak cerita menarik dan sambutan yang hangat, di satu rumah disuguhi minum teh, di rumah lain disuguhi susu, akhirnya perjalanan tanpa sarapan dan makan siang itu tetap mengenyangkan.

Di suatu sekolah, saya mampir untuk mengajukan kuesioner kepada beberapa siswanya. Masuk di ruang guru, saya bertemua dengan wakil kepala sekolahnya, Ibu S.  Ia adalah wanita muda yang bertampang agak dingin nan lempeng dot com. Di balik bahasanya yang santun saya bertanya-tanya apa gerangan yang sedang ia pikirkan dalam hati. Saya membayangkan sosok-sosok diplomat, ahli strategi perang hingga ilmuwan-ilmuwan ekstrim di komik-komik dan novel-novel thriller yang biasa saya baca.

Sambil menunggu anak-anak mengisi kuesinonernya, saya duduk di samping Ibu S, mencoba mencari topik obrolan yang pas dengan nyerocos ga abis-abis (ya, walaupun saya kebingungan memikirkan topik yang pas, kenyataannya kata-kata yang keluar dari mulut mengalir lancar). Tanpa sengaja saya menyebut satu nama teman saya yang menjadi rekan sepanitia dalam penyelenggaraan suatu kegiatan kepemudaan di Waingapu. Ibu S tiba-tiba sangat antusias, “Itu teman saya juga!” dia mulai tersenyum senang, “dia mengajak saya juga ikut serta dalam kegiatan itu, tapi karena harus mengajar di sini saya tidak bisa ikut” ia berujar lagi. Jarak dari desanya ke Waingapu memang cukup jauh dengan jarak tempuh 3 hingga 4 jam jika berkendaraan dengan motor. Ia kemudian mengungkapkan tentang mimpinya yang banyak untuk menggerakkan pemuda di desa tempat ia mengajar. Gerakan moral, gerakan doa, kreativitas pemuda dan lainnya. “Sudah lama saya bermimpi untuk melakukan hal-hal tersebut, syukurlah hari ini kita bisa bertemu dan ngobrol seperti ini” Ibu S akhirnya menyalami saya. Saya pun bersyukur di hari yang panas itu saya tetap bersemangat berjalan kaki.

***

Sabtu sore yang teduh, saat sinyal lancar, dan berleha-leha di Waingapu, iseng-iseng saya menelepon Bibi saya yang telah lama tidak saya sms dan telepon. Telepon pertama saya tidak diangkat sehingga saya menelepon A, sepupu saya yang juga anak tunggal Bibi saya ini. “Oh, Mamak lagi jauh dari hanphone, Kak, sebentar telepon lagi, Kak, supaya kukasih tau biar diangkat” ia menjawab telepon saya. Saya pun menelepon Bibi lagi, tidak sampai nada tunggu ketiga, ia mengangkat telpon saya,
“Apa kabar, Nakku?” ia bertanya dari seberang sana dengan suaranya yang anggun. Saya menjawab baik dan membeberkan kegiatan-kegiatan saya akhir-akhir ini plus minta maaf karena sudah sekitar setengah tahun lebih tidak menghubunginya lagi karena kelupaan. Belum lagi saya melanjutkan celotehan saya, Bibi menangis terisak-isak di seberang sana, “Bibi pikir, Kam nggak mau lagi nelepon Bibi…Bibi pikir selama ini Kam marah” Ia menjawab di antara isakan tangisnya.
“Lho? Marah kenapa, Bi?” Saya kebingungan mengingat-ingat masalah apa yang harus membuat saya marah kepadanya. Bibi pun mengingatkan saya kembali saat ia menelepon saya di awal tahun 2015 untuk meminta bantuan sambil menjanjikan sesuatu. Lama setelah itu dia pun tak pernah member kabar kepada saya hingga hari saya meneleponnya di Sabtu sore itu. Saya pun menjelaskan bahwa saya bahkan tidak pernah mengingat hal tersebut termasuk janji dari Bibi.  
“Sudah, Bi, jangan pusing tentang hal-hal seperti itu, lupakan saja” Saya menyambung sambil tertawa. Bibi pun ikut tertawa di ujung sana. Bibi selama setahun terakhir banyak menghabiskan waktunya untuk terapi pemulihan pasca-operasi pengangkatan tumor, ia juga bercerita bagaimana ia harus diet makanan sehat sesuai anjuran dokter agar tumornya tidak aktif kembali. Syukurlah saya meneleponnya hari itu, kalau saya menundanya lebih lama lagi, tak terbayangkan berapa lama Bibi harus lelah terbeban memikirkan hal sepele yang bahkan tidak menjadi concern saya sama sekali.  

***

Hari minggu di bulan September saya dan teman-teman mengunjungi sebuah gereja nun jauh di balik lembah dan bukit. Terletak di sebuah dusun yang 6 kiloan jauhnya dari desa induknya, yang mana desa induknya juga sangat jauh dari Waingapu. Tanpa memperpersiapkan apa-apa selain dari latihan grup vokal dengan teman-teman, kami mengikuti ibadah hari itu dengan teduh. Namun, tanpa disangka-sangka, pada saat Warta Mimbar, pelayan PGI (Pembantu Guru Injil) mengucapkan terima kasih akan kunjungan kami dengan haru. Ia bercerita tentang bagaimana ia menggembalakan jemaatnya yang banyak di dusun itu selama bertahun-tahun dengan keterbatasannya. PGI lulusan SMA di Waingapu tersebut  tak pernah dilatih secara khusus tentang bagaimana cara berkhotbah, ia mempelajari Alkitab di sela-sela kesibukannya sebagai petani. Sesekali ia diminta mengikuti rapat majelis jemaat ke gereja pusat yang ia tempuh dengan berjalan kaki, di saat pertemuan inilah kadang ia bisa berkonsultasi dengan pendetanya tentang permasalahan di jemaatnya yang kompleks, mulai dari masalah kemiskinan, penginjilan dan sebagainya yang selama ini harus ia pecahkan sendiri. Ia bertekad akan menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya semampunya.

***

Sebagai orang yang lumayan lama tinggal di Sumba, saya sering juga ditanyai oleh teman-teman dan kerabat apa yang membuat saya rela dan betah berlama-lama di sini. Sebenarnya kata ‘rela’ kurang tepat juga, karena tidak ada hal yang terlalu besar juga yang saya korbankan untuk tinggal di sini. Kata ‘betah’ pun sama, tidak ada juga penghalang atau gangguan yang besar yang beralasan yang membuat saya harus tidak betah ada di sini. Seorang teman menggoda, “asik ya, bisa jalan-jalan dan senang-senang sambil bantu orang lain” dia pasti bukan tidak sengaja meletakkan frasa ‘sambil bantu orang lain’ untuk menunjukkan bahwa hal tersebut yang sampingan haha. Tentu saya adalah salah satu yang beruntung bisa datang ke Sumba dengan fasilitas, dukungan dan jaminan dari sebuah organisasi yang besar. Bisa dibilang, membantu orang lain adalah main job saya, sehingga kata ‘rela’ dan ‘betah’ kurang pas untuk pekerja seperti saya yang ‘dirawat’ secara penuh oleh organisasi. Saya rasa alasan utamanya adalah kesempatan berharga yang tidak kebetulan.

Entah bagaimana, saya tidak pernah direlokasi selama bertugas di Sumba, padahal status saya adalah staf relokasi yang penempatannya selayaknya di-rolling di berbagai kabupaten/provinsi. Saya yakin ada sebuah skenario agung yang mana saya harus terlibat di dalamnya, entah sampai di babak berapa, tapi selama saya terlibat di dalamnya saya harus selesaikan dengan sungguh-sungguh. seperti melakukannya karena tugas sebagai manusia untuk memampukan manusia lainnya, bukan karena saya bekerja di organisasi kemanusiaan. Seperti melakukannya untuk Tuhan, bukan hanya karena alasan kemanusiaan. Dan tugas itu bukan hanya melakukan semua kebaikan saja, tapi lebih jauh lagi, memilah kebaikan mana yang prioritas digeluti. Semuanya baik, tapi ada yang lebih baik dan paling baik. Melakukan kebaikan di Afrika dengan melakukan kebaikan di Sumba sama-sama baik, tapi tugas kita sebagai pelakon skenario agung tersebut adalah memahami mana peran yang lebih baik dan paling baik menurut Sang Sutradara Agung. Berperan bukan berarti berpura-pura, tapi memaksimalkan potensi-potensi kita dan memfokuskan diri pada hal yang benar-benar dikehendaki-Nya.

Hal-hal yang sepele bagi kita dan mungkin hanya berlalu begitu saja, belum tentu dirasakan sama oleh orang lain. Banyak orang yang sudah merasakan merasakan dampak positif dari pelayanan yang kita lakukan dengan sikap biasa-biasa saja. Saya dapat membayangkan bila hal-hal tersebut dikerjakan dengan sikap dan motivasi pelayanan yang luar biasa. Selamat memerankan yang terbaik!

***

Renungan pribadi  yang agak terlambat untuk membuka awal tahun fiskal ’16 organisasi (Oktober 2015 – September 2016). Biar telat ketimbang enggak sama sekali hehe.