Saturday 17 October 2015

Seleksi Peran Skenario A


Siang yang menyengat di pertengahan September lalu bagi saya berkali-kali lipat dari panas yang normal. Hari itu hari Selasa. Saya berjalan kaki hampir seperempat luas desa B. Melintasi rumah-rumah penduduk dan masuk ke rumah-rumah tersebut secara acak, saya mendapatkan banyak cerita menarik dan sambutan yang hangat, di satu rumah disuguhi minum teh, di rumah lain disuguhi susu, akhirnya perjalanan tanpa sarapan dan makan siang itu tetap mengenyangkan.

Di suatu sekolah, saya mampir untuk mengajukan kuesioner kepada beberapa siswanya. Masuk di ruang guru, saya bertemua dengan wakil kepala sekolahnya, Ibu S.  Ia adalah wanita muda yang bertampang agak dingin nan lempeng dot com. Di balik bahasanya yang santun saya bertanya-tanya apa gerangan yang sedang ia pikirkan dalam hati. Saya membayangkan sosok-sosok diplomat, ahli strategi perang hingga ilmuwan-ilmuwan ekstrim di komik-komik dan novel-novel thriller yang biasa saya baca.

Sambil menunggu anak-anak mengisi kuesinonernya, saya duduk di samping Ibu S, mencoba mencari topik obrolan yang pas dengan nyerocos ga abis-abis (ya, walaupun saya kebingungan memikirkan topik yang pas, kenyataannya kata-kata yang keluar dari mulut mengalir lancar). Tanpa sengaja saya menyebut satu nama teman saya yang menjadi rekan sepanitia dalam penyelenggaraan suatu kegiatan kepemudaan di Waingapu. Ibu S tiba-tiba sangat antusias, “Itu teman saya juga!” dia mulai tersenyum senang, “dia mengajak saya juga ikut serta dalam kegiatan itu, tapi karena harus mengajar di sini saya tidak bisa ikut” ia berujar lagi. Jarak dari desanya ke Waingapu memang cukup jauh dengan jarak tempuh 3 hingga 4 jam jika berkendaraan dengan motor. Ia kemudian mengungkapkan tentang mimpinya yang banyak untuk menggerakkan pemuda di desa tempat ia mengajar. Gerakan moral, gerakan doa, kreativitas pemuda dan lainnya. “Sudah lama saya bermimpi untuk melakukan hal-hal tersebut, syukurlah hari ini kita bisa bertemu dan ngobrol seperti ini” Ibu S akhirnya menyalami saya. Saya pun bersyukur di hari yang panas itu saya tetap bersemangat berjalan kaki.

***

Sabtu sore yang teduh, saat sinyal lancar, dan berleha-leha di Waingapu, iseng-iseng saya menelepon Bibi saya yang telah lama tidak saya sms dan telepon. Telepon pertama saya tidak diangkat sehingga saya menelepon A, sepupu saya yang juga anak tunggal Bibi saya ini. “Oh, Mamak lagi jauh dari hanphone, Kak, sebentar telepon lagi, Kak, supaya kukasih tau biar diangkat” ia menjawab telepon saya. Saya pun menelepon Bibi lagi, tidak sampai nada tunggu ketiga, ia mengangkat telpon saya,
“Apa kabar, Nakku?” ia bertanya dari seberang sana dengan suaranya yang anggun. Saya menjawab baik dan membeberkan kegiatan-kegiatan saya akhir-akhir ini plus minta maaf karena sudah sekitar setengah tahun lebih tidak menghubunginya lagi karena kelupaan. Belum lagi saya melanjutkan celotehan saya, Bibi menangis terisak-isak di seberang sana, “Bibi pikir, Kam nggak mau lagi nelepon Bibi…Bibi pikir selama ini Kam marah” Ia menjawab di antara isakan tangisnya.
“Lho? Marah kenapa, Bi?” Saya kebingungan mengingat-ingat masalah apa yang harus membuat saya marah kepadanya. Bibi pun mengingatkan saya kembali saat ia menelepon saya di awal tahun 2015 untuk meminta bantuan sambil menjanjikan sesuatu. Lama setelah itu dia pun tak pernah member kabar kepada saya hingga hari saya meneleponnya di Sabtu sore itu. Saya pun menjelaskan bahwa saya bahkan tidak pernah mengingat hal tersebut termasuk janji dari Bibi.  
“Sudah, Bi, jangan pusing tentang hal-hal seperti itu, lupakan saja” Saya menyambung sambil tertawa. Bibi pun ikut tertawa di ujung sana. Bibi selama setahun terakhir banyak menghabiskan waktunya untuk terapi pemulihan pasca-operasi pengangkatan tumor, ia juga bercerita bagaimana ia harus diet makanan sehat sesuai anjuran dokter agar tumornya tidak aktif kembali. Syukurlah saya meneleponnya hari itu, kalau saya menundanya lebih lama lagi, tak terbayangkan berapa lama Bibi harus lelah terbeban memikirkan hal sepele yang bahkan tidak menjadi concern saya sama sekali.  

***

Hari minggu di bulan September saya dan teman-teman mengunjungi sebuah gereja nun jauh di balik lembah dan bukit. Terletak di sebuah dusun yang 6 kiloan jauhnya dari desa induknya, yang mana desa induknya juga sangat jauh dari Waingapu. Tanpa memperpersiapkan apa-apa selain dari latihan grup vokal dengan teman-teman, kami mengikuti ibadah hari itu dengan teduh. Namun, tanpa disangka-sangka, pada saat Warta Mimbar, pelayan PGI (Pembantu Guru Injil) mengucapkan terima kasih akan kunjungan kami dengan haru. Ia bercerita tentang bagaimana ia menggembalakan jemaatnya yang banyak di dusun itu selama bertahun-tahun dengan keterbatasannya. PGI lulusan SMA di Waingapu tersebut  tak pernah dilatih secara khusus tentang bagaimana cara berkhotbah, ia mempelajari Alkitab di sela-sela kesibukannya sebagai petani. Sesekali ia diminta mengikuti rapat majelis jemaat ke gereja pusat yang ia tempuh dengan berjalan kaki, di saat pertemuan inilah kadang ia bisa berkonsultasi dengan pendetanya tentang permasalahan di jemaatnya yang kompleks, mulai dari masalah kemiskinan, penginjilan dan sebagainya yang selama ini harus ia pecahkan sendiri. Ia bertekad akan menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya semampunya.

***

Sebagai orang yang lumayan lama tinggal di Sumba, saya sering juga ditanyai oleh teman-teman dan kerabat apa yang membuat saya rela dan betah berlama-lama di sini. Sebenarnya kata ‘rela’ kurang tepat juga, karena tidak ada hal yang terlalu besar juga yang saya korbankan untuk tinggal di sini. Kata ‘betah’ pun sama, tidak ada juga penghalang atau gangguan yang besar yang beralasan yang membuat saya harus tidak betah ada di sini. Seorang teman menggoda, “asik ya, bisa jalan-jalan dan senang-senang sambil bantu orang lain” dia pasti bukan tidak sengaja meletakkan frasa ‘sambil bantu orang lain’ untuk menunjukkan bahwa hal tersebut yang sampingan haha. Tentu saya adalah salah satu yang beruntung bisa datang ke Sumba dengan fasilitas, dukungan dan jaminan dari sebuah organisasi yang besar. Bisa dibilang, membantu orang lain adalah main job saya, sehingga kata ‘rela’ dan ‘betah’ kurang pas untuk pekerja seperti saya yang ‘dirawat’ secara penuh oleh organisasi. Saya rasa alasan utamanya adalah kesempatan berharga yang tidak kebetulan.

Entah bagaimana, saya tidak pernah direlokasi selama bertugas di Sumba, padahal status saya adalah staf relokasi yang penempatannya selayaknya di-rolling di berbagai kabupaten/provinsi. Saya yakin ada sebuah skenario agung yang mana saya harus terlibat di dalamnya, entah sampai di babak berapa, tapi selama saya terlibat di dalamnya saya harus selesaikan dengan sungguh-sungguh. seperti melakukannya karena tugas sebagai manusia untuk memampukan manusia lainnya, bukan karena saya bekerja di organisasi kemanusiaan. Seperti melakukannya untuk Tuhan, bukan hanya karena alasan kemanusiaan. Dan tugas itu bukan hanya melakukan semua kebaikan saja, tapi lebih jauh lagi, memilah kebaikan mana yang prioritas digeluti. Semuanya baik, tapi ada yang lebih baik dan paling baik. Melakukan kebaikan di Afrika dengan melakukan kebaikan di Sumba sama-sama baik, tapi tugas kita sebagai pelakon skenario agung tersebut adalah memahami mana peran yang lebih baik dan paling baik menurut Sang Sutradara Agung. Berperan bukan berarti berpura-pura, tapi memaksimalkan potensi-potensi kita dan memfokuskan diri pada hal yang benar-benar dikehendaki-Nya.

Hal-hal yang sepele bagi kita dan mungkin hanya berlalu begitu saja, belum tentu dirasakan sama oleh orang lain. Banyak orang yang sudah merasakan merasakan dampak positif dari pelayanan yang kita lakukan dengan sikap biasa-biasa saja. Saya dapat membayangkan bila hal-hal tersebut dikerjakan dengan sikap dan motivasi pelayanan yang luar biasa. Selamat memerankan yang terbaik!

***

Renungan pribadi  yang agak terlambat untuk membuka awal tahun fiskal ’16 organisasi (Oktober 2015 – September 2016). Biar telat ketimbang enggak sama sekali hehe.

Wednesday 12 August 2015

Sungai Sukacitaku

Walaupun sudah sering mandi di sungai, selalu saja ada pengalaman berharga yang selalu saya garis bawahi. Seperti beberapa minggu lalu saat saya tinggal di Kecamatan P dan Kecamatan K.

Selama berada di Kecamatan P, saya menginap di desa T, di rumah keluarga salah satu tutor PAUD , Mama Adinda[1], keluarga ini adalah keluarga yang sangat hangat, saat saya datang kebetulan sedang masuk tahun ajaran baru, dan sebagaimana keluarga yang tinggal di ibu kota kecamatan,keluarga Mama Adinda juga kedatangan anak-anak dari desa tetangga yang dititipi oleh keluarganya untuk bersekolah di Desa T.[2] Tahun ini, keluarga Mama Adinda kedatangan Rina, Tini dan Kevin[3] yang masing-masing bersekolah di SMP.

Tibalah saatnya  untuk mandi. Sesuai saran Mama Adinda, kami akan mandi di sungai yang paling dekat rumah, letaknya persis di belakang kebun sayur milik keluarga mereka. Dengan semangat saya mengikuti Mama Adinda, Rina, Tini, dan Kevin. Membayangkan sungai yang mengalir, sehabis mandi memetik sayur segar membuat saya makin bersemangat berlari-lari menuju sungai impian. Kebun sayur terlihat makin dekat. Lalu kami akhirnya menyusuri kebun sayur. Kami melewati beberapa anggota keluarga dari kerabat Mama Adinda sementara menyiram sayur. Sekarang di depan kami terlihat pagar pembatas kebun sayur.

“Su sampaaaiiiiiii!!!!!” Kevin berseru senang. Yang benar saja? Di seberang pagar pembatas hanya ada genangan air keruh yang tingginya hanya semata kaki. Tapi sepertinya benar karena mereka semua sudah melompati pagar pembatas kayu setinggi betis  yang jarak kayu satu ke kayu lainnya sangat jauh. Keempat partner ‘perjalanan-petualangan-menuju-sungai’ saya sudah menjalankan ritual mandi di sungai nan dalam di sana.

“ini su dia ini?” saya masih menunjuk ‘sungai’ yang dimaksud dengan tak percaya kami mandi dengan ‘ditonton’ oleh penyiram sayur lainnya. Empat orang lainnya masih asyik dengan mandinya. Genangan air semata kaki itu langsung berubah sangat keruh ketika mereka mandi di situ. Secara teknis memang tempat kami mandi tersebut adalah seperti aliran sungai, dan memang airnya berasal dari sebuah sungai agak besar yang terletak kira-kira empat kilo dari tempat itu. Tapi menurut mereka di desa itu tidak banyak pilihan cabang-cabang sungai untuk mandi karena sungai agak besar (yang konon satu-satunya di desa T) itu sendiri selain jauh juga sangat terbuka, sehingga kurang privat (ceileh!)

Beberapa tahun lalu organisasi kami pernah membantu mengadakan sumur bor di desa tersebut, tapi setelah tergali sekian dalam dan tak lama setelah mendapatkan air, sumur tersebut longsor dari pasir. Masyarakat pernah terbantu dengan program perpipaan di desa tersebut, tapi karena masalah klasik seperti perawatan infrastruktur, pembayaran iuran dan komite air akhirnya fasilitas tersebut pun akhirnya seperti tidak berarti apa-apa bagi masyarakat. Ketika saya tanyakan pendapat pemerintah lokal, mereka hanya mengendikkan bahu, pertanda kelelahan atau skeptisme barangkali.

Pelan-pelan akhirnya saya melangkahkan kaki ke genangan air semata kaki tersebut, mengambil air dengan gayung batok kelapa lalu mandi di sungai impian tersebut. Benar saja, begitu saya melangkah, genangan air di sekelilingnya langsung berubah makin keruh. Tini masih sempat mengomel, “Kaka, kalau mau mandi, dari atas batu sa too….ini kita mau mandi langsung su keruh memang….”.  Jadi, jika ingin mandi dengan tenang syaratnya harus jalan pelan-pelan di atas air yang lebih dangkal (yang lebih rendah dari batas mata kaki) ke atas batu, lalu lakukan semua ritualnya di atas sana. Saya sempat berpikir jika lain kali datang untuk membawa gayung yang dilubangi banyak dan kecil-kecil sehingga saya bisa merasakan efek mandi shower, sekalian supaya hemat air.

Empat hari saya di sana akhirnya saya lancar mandi menggunakan genangan air semata kaki dari atas batu. Dan tanpa gayung-efek-shower-impian saya. Hari terakhir, Tini mengajak saya  –meniru istilahnya Tini-  ‘mandi puas-puas’. Syaratnya harus malam-malam, “mandi di sumber air, Kaka, air besar ini…” katanya promosi. Saya mengiyakan saja, entah sebesar apa sumber airnya, tapi saya siap saja, karena mandi di genangan air semata kaki yang mem-PHP-kan saya saja saya sudah berlapang dada. “Kaka siap baju-baju kalau ada yang mau dicuci karena di sana bisa cuci puas-puas, malam-malam angin kencang begini tidak ada orang di sana” Tini masih mengiklan.

Malamnya kami akhirnya dibonceng bergantian oleh Bapa Adinda menuju ‘air besar’, ternyata cukup jauh. Dan memang sepanjang jalan dan di sekitar lokasi air besar terlihat sepi. Ternyata baru saja ada bayi meninggal dekat lokasi itu sehingga banyak keluarga yang pergi mete (melayat, menunggui semalam suntuk) di rumah keluarga duka.

“Su sampaiiii!” Tini berteriak penuh suka cita. Saya hanya bengong menatap sumber ‘air besar’ yang dimaksud. Sebuah fiber air kuning besar yang posisinya langsung berhadapan dengan jalan raya, tanpa dihalangi oleh apapun. Tanpa ba bi bu lagi, Tini langsung membuka sumbat pipa tempat air keluar dari fiber tersebut dan….”Byuuuuuurrrrrr!” air mengalir deras dari pipa tersebut. Tidak ada keran. Jadi acara mandi-mandi malam itu lebih mirip acara perang air. Air mengenai tubuh kami seperti ketimpaan bongkahan batu es, dingin dan berat. Dan memang mirip situasi perang karena setiap ada langkah kaki, cahaya atau suara motor dari kejauhan, saya senantiasa was-was karena lambat bergerak sedikit saja, keberadaan kami akan terekspos sebagai pemandi-pemandi (halah!)

Malam itu saya, Tini dan Mama Amanda pulang ke rumah dengan tubuh yang segar karena mandi dengan sumber ‘air besar’. Tini benar tentang air besar tersebut, karena fiber tersebut adalah bagian dari proyek perpipaan yang pernah ada di desa T. Fiber tersebut merupakan penampung air yang seharusnya disalurkan ke rumah-rumah sekitar, tapi karena kerusakan fisik dan mental (manusia) akhirnya suatu waktu, air tersebut hanya berhenti di situ saja. Keluarga Mama Amanda pun jarang mandi ke tempat ini, hanya jika mereka punya banyak cucian dan ingin sekali ‘mandi puas-puas’ saja mereka datang ke tempat tersebut.

***
Minggu berikutnya saya menginap di Kecamatan K. Di Kecamatan ini saya pun biasa tinggal di posko di dekat pastori keluarga pendeta sebuah gereja. Di sini pun saya sempat merasa di-PHP-kan oleh ‘sungai’ versi setempat. Sungai tempat saya biasa mandi ternyata adalah bagian dari selokan, tempat air irigasi sawah padi. Tapi ‘sungai’ ini cukup memuaskan karena saat kering pun airnya bisa hingga sepinggang orang dewasa. Karena lokasi mandi kami terletak di bawah pohon-pohon besar, kewas-wasan kami adalah: Pertama, ketika ulat bulu bisa jatuh kapan saja mereka mau. Kedua, karena sawah padi juga merangkap tempat bermain layangan dan jalan lintas kuda dan kerbau, maka ritual mandi selalu dijaga oleh seorang mata-mata yang mengawasi para pemakai jalan yang bisa melintas kapan saja mereka mau.

Satu kali, seperti biasa, saya mandi  sekaligus mencuci pakaian bersama para remaja SMP yang tinggal di pastori, mereka juga adalah anak-anak dari berbagai desa yang dititip orangtuanya untuk bersekolah SMP di Desa K, ibu kota kecamatan K. Ritual mencuci pakaian selalu dibarengi pinjam-meminjam sikat dan deterjen (haha). Giliran saya memakai sikat sudah selesai, sikat pun digilir ke pencuci lainnya. Saat dengan asyik-asyik menyikat pakaian, tiba-tiba Kitty[4], anak perempuan bungsu pendeta berseru kaget ke Rini[5] yang sedang ‘khuyuk’ menyikat, “Ha! Itu bukan sikat pakaian, Ha!” ia menunjuk sikat. Rini terkaget, tapi tetap mencuci. “itu sikat sepatunya Bapa!” Kitty meyakinkan, namun tetap dengan rasa was-was. Rini dan remaja lain melihat sikat itu lekat-lekat. Dan memang, itu sikat semir sepatu. Rini buru-buru memasukkan sikat itu ke dalam ember. Ia melanjutkan ritual mencuci dengan mengucek semua pakaiannya dengan tangan. Begitu pula remaja lainnya. Termasuk saya, walaupun sudah selesai mencuci, tapi demi menegaskan bahwa saya bukan termasuk pelaku kekeliruan massal  tersebut, saya kembali mengucek pakaian-pakaian saya. Dan tak lupa saya menambahkan, menyikat sepatu karet saya dengan sikat gigi yang kebetulan saya bawa lebih.

Sejujurnya, selama dua hari kami semua memakai sikat sepatu tersebut mencuci pakaian-pakaian. Walaupun sempat terbersit keherananan dalam hati, kok bisa ya sikat pakaian selembut ini? Tapi keherananan tersebut tidak terlalu berarti karena kami terus menyikat pakaian dengan sikat yang sama dan, tentu saja, mempercepat kebotakan sikat sepatu tersebut.

Apapun itu, ritual mandi di ‘sungai’ pasti selalu mendatangkan sukacita dalam berbagai bentuk.


[1] Bukan nama sebenarnya
[2] Pada umumnya, di desa-desa wilayah selatan Sumba Timur, SMP hanya satu ada di ibu kota kecamatan, sedangkan sekolah setaraf SMA hanya ada masing-masing satu di sebagian kecil ibu kota kecamatan saja.
[3] Bukan nama sebenarnya
[4] Bukan nama sebenarnya
[5] Bukan nama sebenarnya

Tuesday 26 May 2015

Diberu-diberu


Tentang Ibu, Mama, Mamak, Mami, Bunda, selalu punya cerita tersendiri. Kecerewetan, kehebohan, kelemahlembutan, ketelatenan mereka selalu meninggalkan perasaan nano-nano di hati.

Sebulan lalu, saya, adik saya (Peni), dan teman-teman semasa sekolah dan kuliah (Randi dan Paulina) melakukan trekking dadakan di Berastagi sekitarnya. Bukan hanya rutenya yang dadakan, kejutan demi kejutan dadakan pun kami temukan silih berganti sepanjang perjalanan.

Saat menuju Desa Raja Berneh, tempat tinggal Randi, tiba-tiba saja Paulina terlempar dari motor. Karena kaget, baik Paulina maupun kami bertiga hanya melongo lalu berganti-gantian melihat Paulina, jalanan, motor dan ojek yang membonceng Paulina. Karena bingung juga mau diapain akhirnya kami dan Paulina hanya pergi ke Puskesmas untuk memeriksa luka. Kejutan pertama. Kejutan kedua adalah ketika Bidan Puskesmas meminta Paulina mengoleskan minyak urut saja ke luka-lukanya. Jadi tidak ada intervensi negara, dalam hal ini Puskesmas, untuk menyembuhkan lukanya.

Kami  disambut dengan ajakan minum teh oleh Ibu dan abang[1] Randi sesampainya di rumah Randi. Bang S[2], abang Randi, dan Ali, adik laki-laki Randi langsung mengajak kami berdiskusi ke rumah sebelah, kelihatannya serius.

“Kenapa baru datang jam segini?” Bang S, sambil mengepulkan asap rokoknya menuding jam yang sudah menunjukkan jam sepuluh pagi (atau siang). Dia kemudian menjelaskan bahwa untuk menuju tempat tujuan trekking kami itu seharusnya dimulai sejak subuh. Saya menjawab bahwa kami sudah bersedia menginap di tengah jalan dengan membawa tenda (calon) rakitan sendiri dan perlengkapan lain. Ali juga menambahkan bahwa rute trekking tersebut sangat berbahaya dan belum pernah dilewati wisatawan umum. “Lagipula, minimal perbandingan laki-laki dan perempuan setim yang mau naik ke atas harus minimal 50:50” Bang S tidak menerima argument saya bahwa kami bukan perempuan sembarangan, bahwa kami sanggup naik ke sana dan siap tanggung resiko.

“…dan yang paling penting…” Bang S dalam posisi yang paling serius, dan masih menggunakan bahasa Batak Karo yang serius, “Mamak tidak mungkin memberi ijin ke sana…” sambil menunjuk Randi ia masih terus menghisap rokoknya. “sejak kemarin Mamak sudah bersikeras tak akan member Randi ijin ke sana” Randi hanya tertunduk lemas. Saya hanya shock terobek-robek karena sudah sampai di Raja Berneh dalam kondisi flu berat dan batuk, dan dengan ekspektasi yang tinggi. Paulina hanya diam, mungkin karena masih menyesali lengannya yang encok, atau masih bingung memikirkan kenapa ia terjatuh, atau karena memang tidak mengerti bahasa yang kami pakai dalam duplik-replik rute perjalanan tersebut.

“tapi masih bisa diusahakan, kita akan lewat jalur lain saja yang tidak terlalu berbahaya, pasti Mamak mengijinkan, kita ambil jalur pendek saja…” akhirnya Bang S (mungkin) karena tidak tega melihat wajah kami yang kuyu lesu, menawarkan solusi.

Belum sempat kami menarikan tarian hore-hore, Ibu Randi masuk ke ruangan, seperti yang diduga sebelumnya, beliau menolak mentah-mentah ide trekking itu. Bang S, sesuai skenario awal, mengadvokasi Ibu Randi agar memberi ijin dengan mengajukan proposal trekking jalur lain, yang konon, lebih singkat, lebih aman untuk perempuan. Namun, nyatanya Ibu Randi tetap konsisten tidak mengijinkan.

“kalian ini diberu-diberu (perempuan-perempuan), nakku[3]…” Ibu Randi mulai menasehati kami, dengan bahasa Batak Karo, “kurang pas melewati rute itu, itu sepi, banyak binatang buas, banyak setan, belum tentu si S ini bisa menjaga kalian. Saya sarankan kalian ke (gunung) Sibayak saja…”

Saya mulai mendongak tak percaya. Sibayak? Yang benar saja! Itu kan jalur ramai, apalagi saat hari libur, Sibayak hampir mirip lahan piknik yang dipenuhi para ABG dari SMA-SMA dan universitas-universitas Medan sekitarnya. Apa kata dunia, tiga orang professional muda (ditambah satu anak SMA hampir lulus, Si Peni, adik saya) yang (sok) haus petualangan dan orang kampung, harus naik gunung sibayak yang mainstream bingiiitssss dan seperempat perjalanannya bisa ditempuh dengan motooooor? Perjalanan kami harusnya diisi dengan arung jeram, melewati rute misterius dengan tim kecil, itulah defenisi liburan ala professional muda yang sebenarnya (versi Randi). Benar saja, Randi yang juga berpikiran sama, langsung beradu argumen dengan Ibunya. Mula-mula adu argumen itu berjalan layaknya talkshow elit di televisi, lama-kelamaan karena semua pihak makin putus asa, -ditambah Randi berusaha menyenangkan hati kami bertiga, para tamu-, suasana pun makin panas, nada bicara Randi maupun Ibunya makin meninggi meroket namun masih mendayu-dayu khas Karo.

“kalian boleh pergi, tapi kalau ada resiko apa-apa, saya tidak tanggung….” Ibu Randi akhirnya mengeluarkan ultimatum.

Siiiiiing…..
Suasana mendadak hening. Sesaat. Randi langsung melancarkan aksi replik-dupliknya. Berbagai jurus advokasi mulai dari metode  elit mediasi arbitrase dkk yang (ternyata) pernah ia pelajari saat mengambil kelas hukum bisnis, hingga metode paling tidak ilmiah seperti ngambek, balas ultimatum hingga marah-marah mengungkit-ungkit masa lalu sambil mengeluarkan air mata. Tetap saja Ibunya tidak menginjinkan dengan alasan utama merasa bertanggung jawab sebagai orangtua untuk menentukan ke mana anak perempuannya boleh pergi. Kejutan ketiga.

Sebagai penonton, saya, Paulina dan Peni hanya pasrah sambil mendukung Randi dari dalam hati. Terlepas dari fakta bahwa Paulina tidak mengerti bahasa Batak Karo sama sekali.

Singkatnya, akhirnya kami berangkat juga ke Gunung Sibayak setelah menyaksikan perdebatan alot selama 2 jam. Cerita lengkap perjalanan kami ditulis dengan indah, canggih dan elit oleh Paulina di sini. Saya tetap mensyukuri karena walaupun Gunung Sibayak, secara teknis kami tetap trekking alias benar-benar jalan kaki mulai dari rumah Randi hingga ke atas gunung dan pulangnya, ditambah lagi kami masih tetap harus jalan kaki ke sebagian besar destinasi-destinasi lainnya karena tidak menemukan angkutan umum.  

Perjalanan dua hari itu rencananya akan kami tutup dengan tambahan sehari untuk bersenang-senang menurut kebiasaan para professional muda (versi Paulina), yaitu karokean, makan-makan mahal, fitness dan menginap bertiga di hotel agak mahal di Medan. Namun sebelum terlaksana, saya  memanfaatkan hak veto saya seluas-luasnya dengan lebih dulu menolak dua ide terakhir karena kurang ekonomis. Fitness tidak masuk dalam daftar kesenangan saya, sedangkan menginap di hotel tidak membuat saya merasa lebih berbunga-bunga.  Pada dasarnya semua yang mahal dan gak nguatin kantong tidak saya sukai. Haha.

Sebelum berangkat ke Medan, saya meminta Paulina dan Randi ikut meminta ijin ke Ibu saya, sekedar pemberitahuan saja, saya yakin beliau memberi ijin pergi ke anak perempuannya yang mandiri dan telah dewasa ini. Sepanjang pengenalan saya, Ibu saya cukup moderat mendidik anak-anaknya. Apalagi saya hanya pergi sendiri tidak membawa Peni, adik sekaligus asisten serba bisa dan tangan kanan Ibu saya. Jadi, tidak akan ada adegan replik-duplik-zero-achieved yang makan waktu seperti saat di rumah Randi.

“Wah….jalan lagi? 3 hari?” Ibu saya memandang saya tak percaya ketika saya meminta ijin. Wajahnya yang tadinya ceria ketika melihat saya pulang langsung berubah jengkel. “gak kin[4] cukup jalan dua hari sama teman-temanndu[5]? Kam cuman lima hari nya di sini, masak lebih lama di luar daripada sama keluarga? Apalagi Kam masih sakit itu…” Peni masih berusaha membela saya dengan mengatakan bahwa kesempatan saya pulang kampung sangat langka dan harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dan tambahan bahwa flu dan batuk saya tiba-tiba sudah sembuh saat perjalanan ke Sibayak. “yah, tapi terserahndulah itu, kalau mau pergi pun gak bisa juga Mamak paksain, udah dewasa kok…” Ibu saya akhirnya menutup pembicaraan dengan metode umum ladies’ advocacy yang langsung menembak jantung pendengar utamanya. Kejutan keempat.

Saya segera bernegosiasi dengan Paulina dan Randi, membatalkan rencana hari ketiga kami, mengunjungi Enon, sahabat sejak SMP kami, yang baru melahirkan anak laki-lakinya, ditambah dengan mengajak makan malam murah meriah sebagai kompensasi ala professional muda (versi saya). Paulina tetap saja grumbling kepada keputusan last minute saya yang dihitungnya sebagai perencanaan dan keputusan paling plin-plan sepanjang tahun. Randi mencoba membesarkan hati saya dengan menekankan bahwa bersama-sama dengan keluarga adalah yang paling utama, apalagi dalam kunjungan pulang kampung yang sangat singkat ini. Bersenang-senang bersama teman-teman bisa dilakukan kapan saja.  Paulina masih tetap pada posisi Squidy versus Spongebob dan Patrick dengan mengingatkan Saya dan Randi bahwa perubahan-perubahan rencana liburan kami disebabkan karena masalah komunikasi kami yang kurang lancar dengan Ibu masing-masing.

Whatever lah, Paulina! Yang penting saya sudah bebas dari masa-masa kritis membuat keputusan hari itu. Dan mendapatkan empat kejutan dan banyak pencerahan dari Diberu-diberu[6] sepanjang hari-hari tersebut. Hahaha.



[1] Kakak laki-laki
[2] Namanya diinisialkan saja, demi efisiensi dan privasi
[3] Anakku: sapaan khas Batak Karo
[4] Kah: partikel khas Batak Karo
[5] Teman-temanmu: dialek Batak Karo
[6] Bahasa Batak Karo, artinya: Perempuan-perempuan