Saturday 5 March 2016

(Another version of) Trust is Treasure



Jam 7 suatu jumat pagi, saya buru-buru harus memenuhi janji temu dengan seorang mitra yang tinggal agak jauh dari kantor saya. Pagi itu teman-teman kantor masih menikmati jam olah raga pagi, sehingga saya mencari ojek di depan kantor. Tidak jauh dari kantor, duduk di atas batu, seorang Bapak tua berperawakan mongol berkaos putih dan celana tanggung dengan sebuah motor di sampingnya. Dia melihat saya sambil berujar sesuatu seperti “ojek?”, walaupun gaya Bapak tersebut agak mencurigakan, saya tetap mengasumsikan ia adalah ojek sehingga saya meminta Bapak tersebut mengantarkan saya ke alamat yang diminta. Di tengah perjalanan saya sempat memikirkan beberapa jurus melarikan diri dari atas motor kalau-kalau om ojek ini bertindak macam-macam.

“Nona, ini su to dem tempat?” om ojek tiba-tiba berhenti. Saya melihat sekeliling, Saking seriusnya saya memikirkan alternatif-alternatif penyelamatan diri, saya tidak sadar telah tiba di tujuan.
“Benar su om, bae su” saya turun sambil merogoh dompet ingin mengeluarkan uang.
“Biar sudah saya tunggu Nona di luar sini saja sampai selesai” Om ojek menolak saya memberikan uang. Kecurigaan saya pun makin meruncing.
“..tapi saya masih lama om, bisa setengah jam” saya memberi alasan.
“iya, biar sudah tidak apa-apa, saya tunggu saja” Om ojek masih ngotot. Yang membuat saya makin curiga adalah kengototannya yang agak gugup, persis penipu. “Pagi begini masih susah cari ojek, biar su saya tunggu saja, tidak lama” Om ojek seperti menjawab kecurigaan saya. Saya mulai menimbang-nimbang, demi alas an kepraktisan saya malas juga harus cari ojek lagi setelah ini, lagipula jarak dari tempat ini ke kantor saya hanya maksimal 2 kilo, dan agak ramai, plus saya masih bisa melompat dari motor kalau dia macam-macam, plus saya sedang membawa kunci kamar saya, yang nota bene mainan kuncinya agak runcing dan bisa saya manfaatkan untuk mengunci gerakan om ojek ini kalau dia macam-macam, plus alasan pembenar lainnya yang ada di kepala saya saat itu. Akhirnya saya mengiyakan dan langsung buru-buru ke rumah mitra yang telah berjanji bertemu dengan saya.

Tepat setengah jam setelahnya, pembicaraan itu selesai dan saya menuju tempat tunggu om ojek. Benar, ternyata Om ojek masih ada di sana menunggu. “Sudah selesai, Nona?” Om ojek masih sempat bertanya sebelum kami berangkat kembali ke kantor. Di perjalanan, kecurigaan saya belum juga hilang. Dengan posisi awas saya masih memikirkan alternatif penyelamatan diri (haha). Sambil juga memikirkan bagaimana jika saya tiba di kantor lebih dari jam 8, yang artinya saya akan telat, yang arti lainnya juga saya akan dipotong cuti setengah hari.

Kecurigaan dan kekhawatiran saya terhenti sejenak ketika motor tiba-tiba berhenti. Namun alarm tubuh saya makin awas.

“Di sini di kantor to, Nona?” Om ojek menoleh. Lagi-lagi, saking sibuknya berkutat dengan pikiran, saya tidak sadar sudah berada di depan kantor. “Oh iya om” saya melangkah turun dan melihat isi dompet. Saya mulai panik karena ternyata isi dompet adalah lembaran uang seratus ribuan  “Wah om…maaf saya tidak ada uang kecil, pakai uang seratus ribu boleh kah?” saya sambil membolak-balik dompet berharap ada uang sepuluh ribu yang terselip. Tanpa ba-bi-bu, om ojek langsung membuka dompet dan memilah-milah lembaran uang di dalamnya. Tanpa sengaja saya melirik isi dompetnya, ternyata ada banyak lembaran seratus ribuan, lima puluh ribuan, sepuluh ribuan, hingga lima ribuan. Saya sempat berpikiran jangan-jangan itu semua adalah uang palsu. Namun, pemikiran itu agak sirna karena lembaran-lembaran tersebut terlihat agak kusam, seperti hasil dari transaksi dagang di lapangan. Saya bersyukur ada uang sepuluh ribuan di dalamnya, karena paling tidak uang seratus ribu saya tidak akan dikembalikan dengan uang lima puluh ribu dengan alasan tidak cukup ‘uang kecil’ (haha).

“Ini, Nona…” Om ojek menyerahkan saya sejumlah uang, saya menghitung dengan cepat, jumlahnya Sembilan puluh lima ribu rupiah.
“eh…ini kebanyakan om,” saya mengembalikan sepuluh ribu lagi ke om ojek.
“Tidak…tidak, pas sudah itu…terlalu banyak lagi itu…” Om ojek menolah uang dari saya. “Pas sudah, ojek hanya lima ribu saja sebenarnya, kan hanya dekat saja” ia memberi alasan.
“tapi tadi itu kan om tunggu selama setengah jam…” saya masih ngotot dengan sepuluh ribu  di tangan kanan untuk diserahkan ke Om ojek. Om ojek tetap mengelak.
“…tidak bisa, Nona…itu tarif sudah itu, mana kita mau bikin-bikin tarif lagi…pas sudah…sama saja” “……waduh, terima kasih su e, om…” dengan masih agak bingung, akhirnya saya menarik uang sepuluh ribu itu dan menyimpan kembalian uang sebanyak Sembilan puluh lima ribu itu kembali ke dalam dompet. Om ojek pun akhirnya pergi setelah saya berterima kasih yang kedua kalinya.

Saya sempat menceritakan keajaiban hari itu –Om Ojek berwajah Mongol beruang banyak-- ke beberapa teman dan iseng-iseng kami memperhatikan uang kembalian, ternyata uang itu adalah uang asli (haha). “Mungkin pekerjaan utamanya adalah pedagang, nyambi ojek, makanya masih pagi uangnya sudah banyak” salah satu teman saya berkomentar. Sepulang rumah, selesai berganti pakaian, saya masih memeriksa pakaian kantor saya, jangan-jangan ada penyadap suara yang tertempel atau alat spionase lainnya, ternyata tida ada satu pun. Benar ternyata bahwa Om Ojek tersebut bukanlah agen mata-mata seperti yang saya duga.

Oya, Saya akhirnya masuk kantor tepat waktu. Sambil melangkah ke ruangan dengan kebingungan, saya masih mencerna kejadian barusan. Banyak hal yang mencurigakan dari Om ojek tersebut, namun pada akhirnya tak satupun dari kecurigaan saya terbukti, malah sebaliknya om Ojek bermotivasi dan berbuat baik terhadap saya. Saya baru sadar saya belum sempat mensyukuri kejadian tadi dan belum juga meminta maaf (kepada Tuhan) atas prasangka buruk saya.

Sekali lagi, Trust is Treasure, bijak-bijaklah meletakkannya!


Note: "Trust is Treasure" pernah menjadi judul postingan saya dengan pengalaman sejenis:  http://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.htmlhttp://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.html


2 comments: