Wednesday 12 August 2015

Sungai Sukacitaku

Walaupun sudah sering mandi di sungai, selalu saja ada pengalaman berharga yang selalu saya garis bawahi. Seperti beberapa minggu lalu saat saya tinggal di Kecamatan P dan Kecamatan K.

Selama berada di Kecamatan P, saya menginap di desa T, di rumah keluarga salah satu tutor PAUD , Mama Adinda[1], keluarga ini adalah keluarga yang sangat hangat, saat saya datang kebetulan sedang masuk tahun ajaran baru, dan sebagaimana keluarga yang tinggal di ibu kota kecamatan,keluarga Mama Adinda juga kedatangan anak-anak dari desa tetangga yang dititipi oleh keluarganya untuk bersekolah di Desa T.[2] Tahun ini, keluarga Mama Adinda kedatangan Rina, Tini dan Kevin[3] yang masing-masing bersekolah di SMP.

Tibalah saatnya  untuk mandi. Sesuai saran Mama Adinda, kami akan mandi di sungai yang paling dekat rumah, letaknya persis di belakang kebun sayur milik keluarga mereka. Dengan semangat saya mengikuti Mama Adinda, Rina, Tini, dan Kevin. Membayangkan sungai yang mengalir, sehabis mandi memetik sayur segar membuat saya makin bersemangat berlari-lari menuju sungai impian. Kebun sayur terlihat makin dekat. Lalu kami akhirnya menyusuri kebun sayur. Kami melewati beberapa anggota keluarga dari kerabat Mama Adinda sementara menyiram sayur. Sekarang di depan kami terlihat pagar pembatas kebun sayur.

“Su sampaaaiiiiiii!!!!!” Kevin berseru senang. Yang benar saja? Di seberang pagar pembatas hanya ada genangan air keruh yang tingginya hanya semata kaki. Tapi sepertinya benar karena mereka semua sudah melompati pagar pembatas kayu setinggi betis  yang jarak kayu satu ke kayu lainnya sangat jauh. Keempat partner ‘perjalanan-petualangan-menuju-sungai’ saya sudah menjalankan ritual mandi di sungai nan dalam di sana.

“ini su dia ini?” saya masih menunjuk ‘sungai’ yang dimaksud dengan tak percaya kami mandi dengan ‘ditonton’ oleh penyiram sayur lainnya. Empat orang lainnya masih asyik dengan mandinya. Genangan air semata kaki itu langsung berubah sangat keruh ketika mereka mandi di situ. Secara teknis memang tempat kami mandi tersebut adalah seperti aliran sungai, dan memang airnya berasal dari sebuah sungai agak besar yang terletak kira-kira empat kilo dari tempat itu. Tapi menurut mereka di desa itu tidak banyak pilihan cabang-cabang sungai untuk mandi karena sungai agak besar (yang konon satu-satunya di desa T) itu sendiri selain jauh juga sangat terbuka, sehingga kurang privat (ceileh!)

Beberapa tahun lalu organisasi kami pernah membantu mengadakan sumur bor di desa tersebut, tapi setelah tergali sekian dalam dan tak lama setelah mendapatkan air, sumur tersebut longsor dari pasir. Masyarakat pernah terbantu dengan program perpipaan di desa tersebut, tapi karena masalah klasik seperti perawatan infrastruktur, pembayaran iuran dan komite air akhirnya fasilitas tersebut pun akhirnya seperti tidak berarti apa-apa bagi masyarakat. Ketika saya tanyakan pendapat pemerintah lokal, mereka hanya mengendikkan bahu, pertanda kelelahan atau skeptisme barangkali.

Pelan-pelan akhirnya saya melangkahkan kaki ke genangan air semata kaki tersebut, mengambil air dengan gayung batok kelapa lalu mandi di sungai impian tersebut. Benar saja, begitu saya melangkah, genangan air di sekelilingnya langsung berubah makin keruh. Tini masih sempat mengomel, “Kaka, kalau mau mandi, dari atas batu sa too….ini kita mau mandi langsung su keruh memang….”.  Jadi, jika ingin mandi dengan tenang syaratnya harus jalan pelan-pelan di atas air yang lebih dangkal (yang lebih rendah dari batas mata kaki) ke atas batu, lalu lakukan semua ritualnya di atas sana. Saya sempat berpikir jika lain kali datang untuk membawa gayung yang dilubangi banyak dan kecil-kecil sehingga saya bisa merasakan efek mandi shower, sekalian supaya hemat air.

Empat hari saya di sana akhirnya saya lancar mandi menggunakan genangan air semata kaki dari atas batu. Dan tanpa gayung-efek-shower-impian saya. Hari terakhir, Tini mengajak saya  –meniru istilahnya Tini-  ‘mandi puas-puas’. Syaratnya harus malam-malam, “mandi di sumber air, Kaka, air besar ini…” katanya promosi. Saya mengiyakan saja, entah sebesar apa sumber airnya, tapi saya siap saja, karena mandi di genangan air semata kaki yang mem-PHP-kan saya saja saya sudah berlapang dada. “Kaka siap baju-baju kalau ada yang mau dicuci karena di sana bisa cuci puas-puas, malam-malam angin kencang begini tidak ada orang di sana” Tini masih mengiklan.

Malamnya kami akhirnya dibonceng bergantian oleh Bapa Adinda menuju ‘air besar’, ternyata cukup jauh. Dan memang sepanjang jalan dan di sekitar lokasi air besar terlihat sepi. Ternyata baru saja ada bayi meninggal dekat lokasi itu sehingga banyak keluarga yang pergi mete (melayat, menunggui semalam suntuk) di rumah keluarga duka.

“Su sampaiiii!” Tini berteriak penuh suka cita. Saya hanya bengong menatap sumber ‘air besar’ yang dimaksud. Sebuah fiber air kuning besar yang posisinya langsung berhadapan dengan jalan raya, tanpa dihalangi oleh apapun. Tanpa ba bi bu lagi, Tini langsung membuka sumbat pipa tempat air keluar dari fiber tersebut dan….”Byuuuuuurrrrrr!” air mengalir deras dari pipa tersebut. Tidak ada keran. Jadi acara mandi-mandi malam itu lebih mirip acara perang air. Air mengenai tubuh kami seperti ketimpaan bongkahan batu es, dingin dan berat. Dan memang mirip situasi perang karena setiap ada langkah kaki, cahaya atau suara motor dari kejauhan, saya senantiasa was-was karena lambat bergerak sedikit saja, keberadaan kami akan terekspos sebagai pemandi-pemandi (halah!)

Malam itu saya, Tini dan Mama Amanda pulang ke rumah dengan tubuh yang segar karena mandi dengan sumber ‘air besar’. Tini benar tentang air besar tersebut, karena fiber tersebut adalah bagian dari proyek perpipaan yang pernah ada di desa T. Fiber tersebut merupakan penampung air yang seharusnya disalurkan ke rumah-rumah sekitar, tapi karena kerusakan fisik dan mental (manusia) akhirnya suatu waktu, air tersebut hanya berhenti di situ saja. Keluarga Mama Amanda pun jarang mandi ke tempat ini, hanya jika mereka punya banyak cucian dan ingin sekali ‘mandi puas-puas’ saja mereka datang ke tempat tersebut.

***
Minggu berikutnya saya menginap di Kecamatan K. Di Kecamatan ini saya pun biasa tinggal di posko di dekat pastori keluarga pendeta sebuah gereja. Di sini pun saya sempat merasa di-PHP-kan oleh ‘sungai’ versi setempat. Sungai tempat saya biasa mandi ternyata adalah bagian dari selokan, tempat air irigasi sawah padi. Tapi ‘sungai’ ini cukup memuaskan karena saat kering pun airnya bisa hingga sepinggang orang dewasa. Karena lokasi mandi kami terletak di bawah pohon-pohon besar, kewas-wasan kami adalah: Pertama, ketika ulat bulu bisa jatuh kapan saja mereka mau. Kedua, karena sawah padi juga merangkap tempat bermain layangan dan jalan lintas kuda dan kerbau, maka ritual mandi selalu dijaga oleh seorang mata-mata yang mengawasi para pemakai jalan yang bisa melintas kapan saja mereka mau.

Satu kali, seperti biasa, saya mandi  sekaligus mencuci pakaian bersama para remaja SMP yang tinggal di pastori, mereka juga adalah anak-anak dari berbagai desa yang dititip orangtuanya untuk bersekolah SMP di Desa K, ibu kota kecamatan K. Ritual mencuci pakaian selalu dibarengi pinjam-meminjam sikat dan deterjen (haha). Giliran saya memakai sikat sudah selesai, sikat pun digilir ke pencuci lainnya. Saat dengan asyik-asyik menyikat pakaian, tiba-tiba Kitty[4], anak perempuan bungsu pendeta berseru kaget ke Rini[5] yang sedang ‘khuyuk’ menyikat, “Ha! Itu bukan sikat pakaian, Ha!” ia menunjuk sikat. Rini terkaget, tapi tetap mencuci. “itu sikat sepatunya Bapa!” Kitty meyakinkan, namun tetap dengan rasa was-was. Rini dan remaja lain melihat sikat itu lekat-lekat. Dan memang, itu sikat semir sepatu. Rini buru-buru memasukkan sikat itu ke dalam ember. Ia melanjutkan ritual mencuci dengan mengucek semua pakaiannya dengan tangan. Begitu pula remaja lainnya. Termasuk saya, walaupun sudah selesai mencuci, tapi demi menegaskan bahwa saya bukan termasuk pelaku kekeliruan massal  tersebut, saya kembali mengucek pakaian-pakaian saya. Dan tak lupa saya menambahkan, menyikat sepatu karet saya dengan sikat gigi yang kebetulan saya bawa lebih.

Sejujurnya, selama dua hari kami semua memakai sikat sepatu tersebut mencuci pakaian-pakaian. Walaupun sempat terbersit keherananan dalam hati, kok bisa ya sikat pakaian selembut ini? Tapi keherananan tersebut tidak terlalu berarti karena kami terus menyikat pakaian dengan sikat yang sama dan, tentu saja, mempercepat kebotakan sikat sepatu tersebut.

Apapun itu, ritual mandi di ‘sungai’ pasti selalu mendatangkan sukacita dalam berbagai bentuk.


[1] Bukan nama sebenarnya
[2] Pada umumnya, di desa-desa wilayah selatan Sumba Timur, SMP hanya satu ada di ibu kota kecamatan, sedangkan sekolah setaraf SMA hanya ada masing-masing satu di sebagian kecil ibu kota kecamatan saja.
[3] Bukan nama sebenarnya
[4] Bukan nama sebenarnya
[5] Bukan nama sebenarnya