Sunday, 25 August 2013

Memproklamirkan Agustus

Agustus 2013 adalah ketigakalinya saya menikmati kemeriahan kemerdekaan di Waingapu: parade marching band, kelompok etnis, komunitas pop dsb. Banyak hal menarik yang saya syukuri di samping ada kejanggalan juga yang saya pendam2 selama 3 tahun sih haha. Saya Jadi ingat waktu pertama kali menonton parade marching band di Waingapu, saya tidak tahan untuk tidak berkomentar dalam hati. Terutama tentang Majorette-nya. Haha. Maafkan saya.

Awalnya saya kira saya yang terlalu ketinggalan jaman atau sejenisnya sehingga kejanggalan yang saya rasakan saya simpan sendiri saja. "Kenapa ya majorette-nya ini sebagian Besar pake gaya ngebor vulgar erotis ala penyanyi dangdut saat display di keramaian? Kenapa dandanannya menor dan berbusana superminisuperketat begitu ya?"

Untunglah akhirnya beberapa minggu lalu saya mengomentarinya di luar hati. Kepada beberapa kawan saya yang orang Waingapu juga. Ternyata mereka juga terheran2 dan tidak tau sejak kapan fenomena itu terjadi. Sepuluh tahun yang lalu sih tidak begitu kata mereka. Ooooooohhhhhh.......gitcyyyuuuuuuhhhhh......

Saya senang dengan suasana perayaan kemerdekaan di Waingapu yang masih akrab, kompak, ramai dan memancing perhatian penonton. Hampir semua sekolah di Waingapu ikut meramaikan parade marching band, kelompok etnis di Waingapu juga sebagian Besar ikut meramaikan jalan lengkap dengan kostum, mobil yang dihiasi ornamen2 dan tari-tarian adat. Sungguh well-prepared sekali. Saya bersyukur semua etnis pendatang di Waingapu seperti Bali, Flores, Ende, Bima, Makassar, Alor, Sabu dsb (Yang Batak gak ada kayaknya haha) bersatu dan menunjukkan kekompakannya. Saya bayangkan seolah2 seperti itulah sinergitas warga membangun Sumba Timur. Walaupun asal daerahnya berbeda-beda yang mengikat kita adalah kecintaan akan daerah yang sudah ditinggali lama sekali.

Tadi siang saat berdiskusi dengan anak2 usia SMP (kebanyakan berasal dari desa) anggota Sanggar Na Anamu di gedung LPA (Lembaga Perlindungan Anak), saya melempar pertanyaan: "Apa yang kalian lakukan kalau kalian menjadi korban belis usia dini?" Di antara beberapa anak yang menjawab akan melarikan diri dari rumah haha, Melda, salah seorang peserta menjawab dengan yakin, "Saya akan lapor di LPA supaya orang2 yang memaksa saya bisa kena sanksi!"

"Harus ada sosialisasi rutin ke desa2 tentang perlindungan anak" Giliran Hendrik, peserta diskusi SMA saat ditanya rekomendasi apa yang ia tawarkan untuk meminimalisir kasus belis usia dini. "Harus ada inisiatif mengapresiasi Kepala Desa yang desanya paling ramah anak"

Bersyukur sekali rasanya mendengar dan melihat hal-hal Baik dari generasi XY ini. Kalau sedang begini rasanya gaung proklamasi 68 tahun lalu dulu itu kembali terjangkau lagi.

Sepulang diskusi saya pun mulai melupakan pertanyaan-pertanyaan galau 17 Agustus saya seperti:
1. Kapan majorette marching band sekolah2 Waingapu berdandan dan perform kreatif sesuai usia anak?
2. Kapan anak2 tidak ada yang Putus sekolah karena alasan klise seperti: sekolah jauh, tidak ada keluarga yang menampung di kota, orangtua tidak punya uang untuk menyekolahkan?
3. Kapan anak2 tidak ada yang meninggal karena alasan klise seperti: tidak ada puskesmas, tidak ada uang berobat, tidak ada angkutan ke kota?

Saya baru teringat lagi.
Jawaban atas kegalauan saya. Kemarin saat berdiskusi dengan pengurus kelompok2 anak2 SD di desa tentang masalah dan upaya pemecahannya anak di desa mereka. Saya bertanya kepada mereka kira2 kapan ada saat di mana anak2 di kelompok mereka tidak ada yang mengalami masalah itu lagi. Dan saya merasa terberkati sekali bisa mendengar jawaban mereka yang polos dan penuh keyakinan.

"3 tahun dari sekarang, kak
! Kita usaha supaya semua anak rajin ke sekolah minggu, supaya jangan ada lagi anak yang maki......
"

Sepatutnya memang saya berbahagia sekali merdeka dari segala kegalauan di Agustus ini.

No comments:

Post a Comment