Tau Shinchan
kan? Iya, yang lucu, menggemaskan, agak botak, pipi agak gembung. Kalau lihat
Shinchan berikutnya pasti saya ingat Apong.
Saya mengenalnya
baru sekitar setahunan terakhir. Apong, anak sekolah minggu yang masih berusia
empat tahunan, belum lagi terdaftar di PAUD/TK terdekat, cadel tapi cerewet,
suka tidak tenang saat jam doa, tapi sangat semangat mengikuti sekolah minggu. Jika
saya pulang saat hari terang, setiap melihat saya dari kejauhan, dia meloncat-loncat
dan meneriaki nama saya. Ketika saya makin mendekat biasanya dia makin cuek,
makin dekat lagi biasanya volume suaranya memanggil nama saya makin mengecil
sambil ia menutup sebelah matanya. Haha. Masih ada yang lucu, setiap berdoa di
sekolah minggu, matanya selalu tidak sepenuhnya tertutup, hanya menyipit sambil
mendongak ke atas, sepertinya ingin tau apa yang terjadi ketika semua orang
berdoa. Ketika saya berjalan mendekatinya, kepalanya akan makin tertunduk dan
matanya akan menjadi makin menyipit, menunjukkan ia sudah benar-benar berdoa,
walaupun ia tetap membuka sedikiiiiit sekali matanya untuk melihat apa yang
terjadi di bawah ketika sedang berdoa. Hahaha.
Apong mengetuk
pintu kosan saya seminggu setelah saya pertama kali mengajar sekolah minggu. Sebelumnya
saya sering melihat dia di gang kos saya, tapi saya baru tahu kalau ia ternyata
tinggal di belakang kos saya. “Kaka Pinceeeee……” suaranya yang cempreng dan
cara mengetuk pintunya yang tak teratur mau tidak mau membuat saya langsung
membuka pintu. Begitu saya mempersilahkan ia masuk, ia langsung berlari menuju
meja saya (yang sebenarnya lebih sering tidak kelihatan seperti meja saking
beraneka ragamnya barang yang bertumpuk di atasnya haha), “Ini biskuit to ka
Pince to?” ia menunjuk bungkusan-bungkusan biskuit yang saya jejalkan ke container
snack saya. Saya langsung memberi dia satu bungkus biskuit tersebut, dan tanpa
ba-bi-bu lagi dia langsung bersorak dan lari meninggalkan saya begitu saja dan
pamer ke teman-temannya. Teman-temannya berebut meminta biskuit tersebut, “kalau
kamu mau itu minta ke ka Pince sana too, de pu pintu rumah masih terbuka ituuu…”
saya mendengar suara cempreng Apong bersabda di luar sana.
Sejak saat itu,
setiap saya pulang agak terang, Apong dan teman-temannya berganti-gantian
datang ke kos meminta biskuit, cokelat atau apa saja, sehingga saya pun
akhirnya berganti strategi, dari yang awalnya memberi langsung sebungkus
menjadi dua keeping biskuit per orang. Kapanpun saya pulang agak terang, saya
tak bisa istirahat lagi, ketukan pintu tak teratur dari anak-anak balita
sekitar rumah selalu mengusik untuk saya keluar dan bak sinterklas membagi-bagi
biskuit serta variannya. Dampak lainnya lagi adalah setiap jam 3 sore geng
balita beranggotakan Apong, Mone dan Desta pasti sudah nongkrong di teras kos
saya bermain rumah-rumahan atau apa saja sambil menanti biskuit. Biasanya kalau
saya datang mereka langsung tersenyum lebar sambil berkata, “Kaka Pince, kami
sudah kasih bersih Ka Pince pu rumah naaa…” sambil menyapu-nyapu teras seadanya.
Saya mulai
menghentikan aksi sinterklas itu ketika suatu sore, saat Apong dan geng datang
lagi ke kos untuk meminta biskuit. Saya sudah mau mengambil biskuit ke kamar
ketika Bapak kos yang kebetulan lewat menegur saya, “udah, Pin, jangan dikasih
terus, entar kebiasaan. Udah…udah…kamu pulang dulu sana…” Bapak kos langsung
mengantar anak-anak ke gerbang. Dalam hati saya merasa agak malu juga, selama
ini saya hanya menuruti maunya mereka saja, tanpa pernah dibalas dengan ucapan
terima kasih dari mereka, tanpa pernah peduli mereka datang dalam keadaan masih
lusuh dan tanpa pernah peduli jam makan malam mereka di keluarga. Saya ingat
suatu kali persediaan biskuit saya habis, saat itu Apong datang ke kosan dan
meminta biskuit, ketika saya menjelaskan bahwa biskuit habis, ia langsung
protes tidak percaya, “eee…Ka Pince omong kosong, pasti ada naaaaa….” Saya
tersadar selama ini tanpa sengaja saya memanjakan tanpa mendisiplinkan mereka.
Minggu berikutnya,
saya memanggil Apong yang kebetulan bolak-balik di depan teras kamar saya, “Apong,
sini dulu ke Ka Pince….” Ia langsung tersenyum lebar menjemput saya. Dia baru
ingin meminta biskuit lagi ketika saya langsung menyela, “Apong su mandi?” ia
menggangguk, dan saya lihat memang sore ini wajahnya bersih sekali, “Apong,
kalau datang ke rumah orang lain, bagus tidak kalau langsung main minta
biskuit?” dia tersenyum malu-malu lalu menggeleng. “Baik sudah, besok kalau
datang ke rumah siapapun ketuk pintu pelan-pelan e, jangan gluduk-gluduk kayak
ada mau bapukul e? Kalau orangnya tidak menyahut berarti ada istirahat, berarti
tidak boleh diganggu e?” dia mengangguk lagi. “Kalau orang kasih biskuit baru
terima e? Tidak boleh baminta…” dia menggangguk lagi. Saya masuk ke dalam lalu memberi
ia biskuit. Dia langsung tersenyum lebar dan hendak berlari setelah menerima
biskuit. “Apong, jangan pergi dulu, sini…” saya masih berlutut setinggi dia. “Kalau
orang su kasih sesuatu, terus Apong senang atau tidak?” ia menggangguk sambil
tersenyum malu-malu. “Terus kalau senang, bagaimana sudah? Bilang apa?” saya
menatap Apong. “Terima kasih Ka Pince….” Ia sambil tersenyum malu-malu
menyalami saya. “…sekarang Apong pulang sudah, tunggu makan malam sama-sama
dengan Mama e?” Ia menggangguk lagi. “Daaaaah Ka Pinceeee….” Katanya sambil
berlari.
Sejak saat itu,
Apong mengetuk pintu kos saya dengan teratur. Kadang-kadang saat saya capai sekali,
saya keluar sebentar dan meminta Apong dan teman-temannya pulang ke rumah
masing-masing karena saya mau istirahat. Dan mereka pun menurut dengan patuh. Jika
Apong dan teman-temannya datang ke kosan, mereka tidak pernah lagi meminta
biskuit, biasanya mereka melihat saya pulang dan menyapa saya (sambil
senyum-senyum penuh harap diberi biskuit lagi hehe), kadang saya memberikan
biskuit, kadang tidak. Tapi yang pasti
balita Apong, Mone dan Desta tetap manis dan tidak protes. Setiap saya
memberikan biskuit, tanpa diberi aba-aba mereka serempak mengucapkan terima
kasih.
***
Saya sudah lupa
berapa minggu sudah dalam 3 bulan terakhir saya absen sekolah minggu, alasan
andalan saya adalah karena harus bekerja di hari minggu, mulai mengatur acara,
pembicara, kegiatan fellowship bersama teman-teman sekantor, sampai kelelahan
dan akhirnya sakit di hari minggu, dan di antaranya terselip juga alasan malas
yang amat parah (haha). Yang terakhir saya ingat adalah ketika suatu sore, saat
saya masih terkena flu parah, Apong sedang bermain kelereng di depan gerbang
kos saya dan langsung berdiri begitu menyadari saya datang, “Ka Pince minggu
kemarin ke mana? Kenapa tidak ikut sekolah minggu?” saking kagetnya saya sampai
bingung mau menjawab apa, biasanya pertanyaan itu yang saya lontarkan ke Apong
kalau saya tak melihatnya di sekolah minggu. “Oh...Ka Pince ada sakit…” saya
menanggapi protesnya lemah, karena tidak sepenuhnya benar, masak ada sakit flu
yang sampe berminggu-minggu sih? Haha.
Hari minggu sebelum
keberangkatan saya ke Bali, saya mengajar di sekolah minggu. Di perjalanan
pulang bersama rekan guru sekolah minggu, saya menyadari sesuatu. Apong tidak
hadir. Sesungguhnya sudah beberapa hari saya pulang agak terang dan tidak
mendapati dia bermain kelereng atau sekedar berteriak-teriak memanggil nama
saya di jalan gang. Saya baru tersadar selama beberapa hari personil geng
balita berkurang satu. Saya menanyakan keberadaan Apong ke guru sekolah minggu
yang kenal dekat dengan keluarganya.
“Oh, Sa kira Ka
Pince su tau na, Apong su dua minggu ada kembali ke Tanarara…” rekan guru
sekolah minggu itu bercerita bahwa tempat yang Apong tinggali selama ini adalah
rumah dari kerabat dari pihak ibunya. Ibunya sendiri adalah wanita muda single parent yang berasal dari desa dan
selama ini membesarkan Apong, anak tunggalnya, dengan bekerja di Waingapu. Apong
dititip ke rumah kerabatnya yang lain di desa yang letaknya sekitar lima jam
perjalanan melewati jalanan berbukit berbatu dari Waingapu. Yang saya sendiri
tidak yakin apakah di sana ada PAUD atau tidak. Apakah sekarang di sana sudah
ada SMP dan SMA, saya meragukan. Menurut rekan guru sekolah minggu ini, Apong
dititip bergantian di keluarga untuk merawatnya, kebetulan saat ini keluarga
di desa itulah yang siap merawatnya. Sementara Ibunya sendiri memilih untuk
bekerja ke kecamatan lain di luar Waingapu.
Apong akan tetap
dicintai, didoakan, hidup utuh seutuhnya melalui orang-orang dewasa di
lingkungannya, melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, menjadi transformer
yang berintegritas bagi desanya, bagi Sumba Timur. Amin.
No comments:
Post a Comment