Siang yang menyengat di pertengahan September lalu bagi saya
berkali-kali lipat dari panas yang normal. Hari itu hari Selasa. Saya berjalan kaki
hampir seperempat luas desa B. Melintasi rumah-rumah penduduk dan masuk ke
rumah-rumah tersebut secara acak, saya mendapatkan banyak cerita menarik dan
sambutan yang hangat, di satu rumah disuguhi minum teh, di rumah lain disuguhi
susu, akhirnya perjalanan tanpa sarapan dan makan siang itu tetap
mengenyangkan.
Di suatu sekolah, saya mampir untuk mengajukan kuesioner kepada
beberapa siswanya. Masuk di ruang guru, saya bertemua dengan wakil kepala
sekolahnya, Ibu S. Ia adalah wanita muda
yang bertampang agak dingin nan lempeng dot com. Di balik bahasanya yang santun
saya bertanya-tanya apa gerangan yang sedang ia pikirkan dalam hati. Saya
membayangkan sosok-sosok diplomat, ahli strategi perang hingga ilmuwan-ilmuwan
ekstrim di komik-komik dan novel-novel thriller
yang biasa saya baca.
Sambil menunggu anak-anak mengisi kuesinonernya, saya duduk di samping
Ibu S, mencoba mencari topik obrolan yang pas dengan nyerocos ga abis-abis (ya,
walaupun saya kebingungan memikirkan topik yang pas, kenyataannya kata-kata
yang keluar dari mulut mengalir lancar). Tanpa sengaja saya menyebut satu nama
teman saya yang menjadi rekan sepanitia dalam penyelenggaraan suatu kegiatan
kepemudaan di Waingapu. Ibu S tiba-tiba sangat antusias, “Itu teman saya juga!”
dia mulai tersenyum senang, “dia mengajak saya juga ikut serta dalam kegiatan
itu, tapi karena harus mengajar di sini saya tidak bisa ikut” ia berujar lagi.
Jarak dari desanya ke Waingapu memang cukup jauh dengan jarak tempuh 3 hingga 4
jam jika berkendaraan dengan motor. Ia kemudian mengungkapkan tentang mimpinya
yang banyak untuk menggerakkan pemuda di desa tempat ia mengajar. Gerakan
moral, gerakan doa, kreativitas pemuda dan lainnya. “Sudah lama saya bermimpi
untuk melakukan hal-hal tersebut, syukurlah hari ini kita bisa bertemu dan
ngobrol seperti ini” Ibu S akhirnya menyalami saya. Saya pun bersyukur di hari
yang panas itu saya tetap bersemangat berjalan kaki.
***
Sabtu sore yang teduh, saat sinyal lancar, dan berleha-leha di
Waingapu, iseng-iseng saya menelepon Bibi saya yang telah lama tidak saya sms
dan telepon. Telepon pertama saya tidak diangkat sehingga saya menelepon A,
sepupu saya yang juga anak tunggal Bibi saya ini. “Oh, Mamak lagi jauh dari
hanphone, Kak, sebentar telepon lagi, Kak, supaya kukasih tau biar diangkat” ia
menjawab telepon saya. Saya pun menelepon Bibi lagi, tidak sampai nada tunggu
ketiga, ia mengangkat telpon saya,
“Apa kabar, Nakku?” ia bertanya dari seberang sana dengan suaranya
yang anggun. Saya menjawab baik dan membeberkan kegiatan-kegiatan saya
akhir-akhir ini plus minta maaf karena sudah sekitar setengah tahun lebih tidak
menghubunginya lagi karena kelupaan. Belum lagi saya melanjutkan celotehan
saya, Bibi menangis terisak-isak di seberang sana, “Bibi pikir, Kam nggak mau
lagi nelepon Bibi…Bibi pikir selama ini Kam marah” Ia menjawab di antara isakan
tangisnya.
“Lho? Marah kenapa, Bi?” Saya kebingungan mengingat-ingat masalah apa
yang harus membuat saya marah kepadanya. Bibi pun mengingatkan saya kembali
saat ia menelepon saya di awal tahun 2015 untuk meminta bantuan sambil
menjanjikan sesuatu. Lama setelah itu dia pun tak pernah member kabar kepada
saya hingga hari saya meneleponnya di Sabtu sore itu. Saya pun menjelaskan
bahwa saya bahkan tidak pernah mengingat hal tersebut termasuk janji dari Bibi.
“Sudah, Bi, jangan pusing tentang hal-hal seperti itu, lupakan saja”
Saya menyambung sambil tertawa. Bibi pun ikut tertawa di ujung sana. Bibi
selama setahun terakhir banyak menghabiskan waktunya untuk terapi pemulihan
pasca-operasi pengangkatan tumor, ia juga bercerita bagaimana ia harus diet
makanan sehat sesuai anjuran dokter agar tumornya tidak aktif kembali. Syukurlah
saya meneleponnya hari itu, kalau saya menundanya lebih lama lagi, tak
terbayangkan berapa lama Bibi harus lelah terbeban memikirkan hal sepele yang
bahkan tidak menjadi concern saya
sama sekali.
***
Hari minggu di bulan September saya dan teman-teman mengunjungi sebuah
gereja nun jauh di balik lembah dan bukit. Terletak di sebuah dusun yang 6
kiloan jauhnya dari desa induknya, yang mana desa induknya juga sangat jauh
dari Waingapu. Tanpa memperpersiapkan apa-apa selain dari latihan grup vokal
dengan teman-teman, kami mengikuti ibadah hari itu dengan teduh. Namun, tanpa
disangka-sangka, pada saat Warta Mimbar, pelayan PGI (Pembantu Guru Injil)
mengucapkan terima kasih akan kunjungan kami dengan haru. Ia bercerita tentang
bagaimana ia menggembalakan jemaatnya yang banyak di dusun itu selama
bertahun-tahun dengan keterbatasannya. PGI lulusan SMA di Waingapu tersebut tak pernah dilatih secara khusus tentang
bagaimana cara berkhotbah, ia mempelajari Alkitab di sela-sela kesibukannya
sebagai petani. Sesekali ia diminta mengikuti rapat majelis jemaat ke gereja
pusat yang ia tempuh dengan berjalan kaki, di saat pertemuan inilah kadang ia
bisa berkonsultasi dengan pendetanya tentang permasalahan di jemaatnya yang
kompleks, mulai dari masalah kemiskinan, penginjilan dan sebagainya yang selama
ini harus ia pecahkan sendiri. Ia bertekad akan menyekolahkan anaknya
setinggi-tingginya semampunya.
***
Sebagai orang yang lumayan lama tinggal di Sumba, saya sering juga
ditanyai oleh teman-teman dan kerabat apa yang membuat saya rela dan betah
berlama-lama di sini. Sebenarnya kata ‘rela’ kurang tepat juga, karena tidak
ada hal yang terlalu besar juga yang saya korbankan untuk tinggal di sini. Kata
‘betah’ pun sama, tidak ada juga penghalang atau gangguan yang besar yang
beralasan yang membuat saya harus tidak betah ada di sini. Seorang teman
menggoda, “asik ya, bisa jalan-jalan dan senang-senang sambil bantu orang lain”
dia pasti bukan tidak sengaja meletakkan frasa ‘sambil bantu orang lain’ untuk
menunjukkan bahwa hal tersebut yang sampingan haha. Tentu saya adalah salah
satu yang beruntung bisa datang ke Sumba dengan fasilitas, dukungan dan jaminan
dari sebuah organisasi yang besar. Bisa dibilang, membantu orang lain adalah main job saya, sehingga kata ‘rela’ dan
‘betah’ kurang pas untuk pekerja seperti saya yang ‘dirawat’ secara penuh oleh
organisasi. Saya rasa alasan utamanya adalah kesempatan berharga yang tidak
kebetulan.
Entah bagaimana, saya tidak pernah direlokasi selama bertugas di
Sumba, padahal status saya adalah staf relokasi yang penempatannya selayaknya
di-rolling di berbagai kabupaten/provinsi. Saya yakin ada sebuah skenario agung
yang mana saya harus terlibat di dalamnya, entah sampai di babak berapa, tapi
selama saya terlibat di dalamnya saya harus selesaikan dengan sungguh-sungguh. seperti
melakukannya karena tugas sebagai manusia untuk memampukan manusia lainnya,
bukan karena saya bekerja di organisasi kemanusiaan. Seperti melakukannya untuk
Tuhan, bukan hanya karena alasan kemanusiaan. Dan tugas itu bukan hanya
melakukan semua kebaikan saja, tapi lebih jauh lagi, memilah kebaikan mana yang
prioritas digeluti. Semuanya baik, tapi ada yang lebih baik dan paling baik.
Melakukan kebaikan di Afrika dengan melakukan kebaikan di Sumba sama-sama baik,
tapi tugas kita sebagai pelakon skenario agung tersebut adalah memahami mana peran
yang lebih baik dan paling baik menurut Sang Sutradara Agung. Berperan bukan
berarti berpura-pura, tapi memaksimalkan potensi-potensi kita dan memfokuskan
diri pada hal yang benar-benar dikehendaki-Nya.
Hal-hal yang sepele bagi kita dan mungkin hanya berlalu begitu saja,
belum tentu dirasakan sama oleh orang lain. Banyak orang yang sudah merasakan merasakan
dampak positif dari pelayanan yang kita lakukan dengan sikap biasa-biasa saja.
Saya dapat membayangkan bila hal-hal tersebut dikerjakan dengan sikap dan
motivasi pelayanan yang luar biasa. Selamat memerankan yang terbaik!
***
Renungan pribadi yang agak terlambat untuk membuka awal tahun
fiskal ’16 organisasi (Oktober 2015 – September 2016). Biar telat ketimbang
enggak sama sekali hehe.
galau bangetlah kau...xixixi...eh mampirlah ke blogkku juga askharanggat.blogspot.com
ReplyDeleteUntuk bisa menjadi penulis besar harua sering2 galau katanya ๐mari kita galakkan gerakan galau nasional!
ReplyDeleteAh, gaya kau mampir2, kayaknya postingan terakhir yg 2 bulan lalu deh, mana yg baruuuu? ๐
Keren cuk. Tetap produktif kau ya, gak kek awak sekali setahun. Hahaha
ReplyDeleteSemakin selalu melakukan traveling dan berpetualangan, kita akan menemukan inspirasi untuk menulis. semoga tulisan2nya makin menjadi berkat. ayo jalan
ReplyDelete