Tentang Ibu, Mama, Mamak, Mami, Bunda, selalu punya cerita tersendiri.
Kecerewetan, kehebohan, kelemahlembutan, ketelatenan mereka selalu meninggalkan
perasaan nano-nano di hati.
Sebulan lalu, saya, adik saya (Peni), dan teman-teman semasa sekolah
dan kuliah (Randi dan Paulina) melakukan trekking dadakan di Berastagi
sekitarnya. Bukan hanya rutenya yang dadakan, kejutan demi kejutan dadakan pun
kami temukan silih berganti sepanjang perjalanan.
Saat menuju Desa Raja Berneh, tempat tinggal Randi, tiba-tiba saja
Paulina terlempar dari motor. Karena kaget, baik Paulina maupun kami bertiga
hanya melongo lalu berganti-gantian melihat Paulina, jalanan, motor dan ojek
yang membonceng Paulina. Karena bingung juga mau diapain akhirnya kami dan Paulina
hanya pergi ke Puskesmas untuk memeriksa luka. Kejutan pertama. Kejutan kedua
adalah ketika Bidan Puskesmas meminta Paulina mengoleskan minyak urut saja ke
luka-lukanya. Jadi tidak ada intervensi negara, dalam hal ini Puskesmas, untuk
menyembuhkan lukanya.
Kami disambut dengan ajakan
minum teh oleh Ibu dan abang[1]
Randi sesampainya di rumah Randi. Bang S[2],
abang Randi, dan Ali, adik laki-laki Randi langsung mengajak kami berdiskusi ke
rumah sebelah, kelihatannya serius.
“Kenapa baru datang jam segini?” Bang S, sambil mengepulkan asap
rokoknya menuding jam yang sudah menunjukkan jam sepuluh pagi (atau siang). Dia
kemudian menjelaskan bahwa untuk menuju tempat tujuan trekking kami itu
seharusnya dimulai sejak subuh. Saya menjawab bahwa kami sudah bersedia
menginap di tengah jalan dengan membawa tenda (calon) rakitan sendiri dan
perlengkapan lain. Ali juga menambahkan bahwa rute trekking tersebut sangat berbahaya dan belum pernah dilewati
wisatawan umum. “Lagipula, minimal perbandingan laki-laki dan perempuan setim yang
mau naik ke atas harus minimal 50:50” Bang S tidak menerima argument saya bahwa
kami bukan perempuan sembarangan, bahwa kami sanggup naik ke sana dan siap
tanggung resiko.
“…dan yang paling penting…” Bang S dalam posisi yang paling serius,
dan masih menggunakan bahasa Batak Karo yang serius, “Mamak tidak mungkin
memberi ijin ke sana…” sambil menunjuk Randi ia masih terus menghisap rokoknya.
“sejak kemarin Mamak sudah bersikeras tak akan member Randi ijin ke sana” Randi
hanya tertunduk lemas. Saya hanya shock terobek-robek karena sudah sampai di
Raja Berneh dalam kondisi flu berat dan batuk, dan dengan ekspektasi yang
tinggi. Paulina hanya diam, mungkin karena masih menyesali lengannya yang
encok, atau masih bingung memikirkan kenapa ia terjatuh, atau karena memang
tidak mengerti bahasa yang kami pakai dalam duplik-replik rute perjalanan
tersebut.
“tapi masih bisa diusahakan, kita akan lewat jalur lain saja yang
tidak terlalu berbahaya, pasti Mamak mengijinkan, kita ambil jalur pendek saja…”
akhirnya Bang S (mungkin) karena tidak tega melihat wajah kami yang kuyu lesu,
menawarkan solusi.
Belum sempat kami menarikan tarian hore-hore, Ibu Randi masuk ke
ruangan, seperti yang diduga sebelumnya, beliau menolak mentah-mentah ide
trekking itu. Bang S, sesuai skenario awal, mengadvokasi Ibu Randi agar memberi
ijin dengan mengajukan proposal trekking jalur lain, yang konon, lebih singkat,
lebih aman untuk perempuan. Namun, nyatanya Ibu Randi tetap konsisten tidak
mengijinkan.
“kalian ini diberu-diberu (perempuan-perempuan),
nakku[3]…”
Ibu Randi mulai menasehati kami, dengan bahasa Batak Karo, “kurang pas melewati
rute itu, itu sepi, banyak binatang buas, banyak setan, belum tentu si S ini
bisa menjaga kalian. Saya sarankan kalian ke (gunung) Sibayak saja…”
Saya mulai mendongak tak percaya. Sibayak? Yang benar saja! Itu kan
jalur ramai, apalagi saat hari libur, Sibayak hampir mirip lahan piknik yang
dipenuhi para ABG dari SMA-SMA dan universitas-universitas Medan sekitarnya. Apa
kata dunia, tiga orang professional muda (ditambah satu anak SMA hampir lulus,
Si Peni, adik saya) yang (sok) haus petualangan dan orang kampung, harus naik
gunung sibayak yang mainstream
bingiiitssss dan seperempat perjalanannya bisa ditempuh dengan motooooor? Perjalanan
kami harusnya diisi dengan arung jeram, melewati rute misterius dengan tim
kecil, itulah defenisi liburan ala professional muda yang sebenarnya (versi
Randi). Benar saja, Randi yang juga berpikiran sama, langsung beradu argumen dengan
Ibunya. Mula-mula adu argumen itu berjalan layaknya talkshow elit di televisi, lama-kelamaan karena semua pihak makin
putus asa, -ditambah Randi berusaha menyenangkan hati kami bertiga, para tamu-,
suasana pun makin panas, nada bicara Randi maupun Ibunya makin meninggi meroket
namun masih mendayu-dayu khas Karo.
“kalian boleh pergi, tapi kalau ada resiko apa-apa, saya tidak
tanggung….” Ibu Randi akhirnya mengeluarkan ultimatum.
Siiiiiing…..
Suasana mendadak hening. Sesaat. Randi langsung melancarkan aksi
replik-dupliknya. Berbagai jurus advokasi mulai dari metode elit mediasi arbitrase dkk yang (ternyata)
pernah ia pelajari saat mengambil kelas hukum bisnis, hingga metode paling
tidak ilmiah seperti ngambek, balas ultimatum hingga marah-marah mengungkit-ungkit
masa lalu sambil mengeluarkan air mata. Tetap saja Ibunya tidak menginjinkan
dengan alasan utama merasa bertanggung jawab sebagai orangtua untuk menentukan
ke mana anak perempuannya boleh pergi. Kejutan ketiga.
Sebagai penonton, saya, Paulina dan Peni hanya pasrah sambil mendukung
Randi dari dalam hati. Terlepas dari fakta bahwa Paulina tidak mengerti bahasa
Batak Karo sama sekali.
Singkatnya, akhirnya kami berangkat juga ke Gunung Sibayak setelah
menyaksikan perdebatan alot selama 2 jam. Cerita lengkap perjalanan kami ditulis
dengan indah, canggih dan elit oleh Paulina di sini. Saya tetap mensyukuri karena walaupun Gunung Sibayak, secara
teknis kami tetap trekking alias
benar-benar jalan kaki mulai dari rumah Randi hingga ke atas gunung dan
pulangnya, ditambah lagi kami masih tetap harus jalan kaki ke sebagian besar destinasi-destinasi
lainnya karena tidak menemukan angkutan umum.
Perjalanan dua hari itu rencananya akan kami tutup dengan tambahan sehari
untuk bersenang-senang menurut kebiasaan para professional muda (versi Paulina),
yaitu karokean, makan-makan mahal, fitness dan menginap bertiga di hotel agak
mahal di Medan. Namun sebelum terlaksana, saya memanfaatkan hak veto saya seluas-luasnya
dengan lebih dulu menolak dua ide terakhir karena kurang ekonomis. Fitness tidak
masuk dalam daftar kesenangan saya, sedangkan menginap di hotel tidak membuat
saya merasa lebih berbunga-bunga. Pada dasarnya
semua yang mahal dan gak nguatin kantong tidak saya sukai. Haha.
Sebelum berangkat ke Medan, saya meminta Paulina dan Randi ikut
meminta ijin ke Ibu saya, sekedar pemberitahuan saja, saya yakin beliau memberi
ijin pergi ke anak perempuannya yang mandiri dan telah dewasa ini. Sepanjang pengenalan
saya, Ibu saya cukup moderat mendidik anak-anaknya. Apalagi saya hanya pergi sendiri
tidak membawa Peni, adik sekaligus asisten serba bisa dan tangan kanan Ibu
saya. Jadi, tidak akan ada adegan replik-duplik-zero-achieved yang makan waktu seperti saat di rumah Randi.
“Wah….jalan lagi? 3 hari?” Ibu saya memandang saya tak percaya ketika
saya meminta ijin. Wajahnya yang tadinya ceria ketika melihat saya pulang
langsung berubah jengkel. “gak kin[4]
cukup jalan dua hari sama teman-temanndu[5]?
Kam cuman lima hari nya di sini, masak lebih lama di luar daripada sama
keluarga? Apalagi Kam masih sakit itu…” Peni masih berusaha membela saya dengan
mengatakan bahwa kesempatan saya pulang kampung sangat langka dan harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dan tambahan bahwa flu dan batuk saya tiba-tiba
sudah sembuh saat perjalanan ke Sibayak. “yah, tapi terserahndulah itu, kalau
mau pergi pun gak bisa juga Mamak paksain, udah dewasa kok…” Ibu saya akhirnya
menutup pembicaraan dengan metode umum ladies’
advocacy yang langsung menembak jantung pendengar utamanya. Kejutan keempat.
Saya segera bernegosiasi dengan Paulina dan Randi, membatalkan rencana
hari ketiga kami, mengunjungi Enon, sahabat sejak SMP kami, yang baru
melahirkan anak laki-lakinya, ditambah dengan mengajak makan malam murah meriah
sebagai kompensasi ala professional muda (versi saya). Paulina tetap saja grumbling kepada keputusan last minute saya yang dihitungnya
sebagai perencanaan dan keputusan paling plin-plan sepanjang tahun. Randi mencoba
membesarkan hati saya dengan menekankan bahwa bersama-sama dengan keluarga
adalah yang paling utama, apalagi dalam kunjungan pulang kampung yang sangat
singkat ini. Bersenang-senang bersama teman-teman bisa dilakukan kapan saja. Paulina masih tetap pada posisi Squidy versus
Spongebob dan Patrick dengan mengingatkan Saya dan Randi bahwa
perubahan-perubahan rencana liburan kami disebabkan karena masalah komunikasi
kami yang kurang lancar dengan Ibu masing-masing.
Whatever lah, Paulina! Yang
penting saya sudah bebas dari masa-masa kritis membuat keputusan hari itu. Dan mendapatkan empat kejutan dan banyak pencerahan dari Diberu-diberu[6]
sepanjang hari-hari tersebut. Hahaha.