Tuesday, 16 December 2014
Apalah Artinya Kata-kata?
Thursday, 2 October 2014
Renungan-renungan Sepele di Tahun Baru
Wednesday, 30 April 2014
Niat Menjelma
Sebaik apakah kita bagi orang lain?
Sebaik apakah kita bagi diri sendiri?
Biasanya orang-orang yang menganggap dirinya baik kalau melakukan kesalahan yang berakibat buruk pada orang lain pasti minta maaf dan setelah itu terungkap atau tidak ia akan menganggap dirinya sebenarnya tidak berniat buruk, atau sebenarnya ada sedikit niat buruk tapi tidak sejauh itu, tapi entah kenapa akhirnya jadi begitu, yang pasti tadinya ia berniat baik, dan seterusnya.
Niat menjelma laku menghasilkan dampak.
Ada sekelompok masyarakat di Dusun Laipori, Desa Palakahembi, yang terkena dampak angin kencang beberapa bulan lalu. Tidak kurang dari empat rumah mereka hancur, termasuk juga di dalamnya bangunan Paud yang dipakai belajar oleh dua puluhan anak.
Mereka cinta rumahnya, tanahnya, anak-anaknya dan sebagainya. Oleh karena itu mereka terus bergotong royong membangun rumah kembali dari bahan-bahan yang terselamatkan. Beberapa pihak pernah menjanjikan membangun kembali rumah-rumah tersebut yang kemudian belum pernah terealisasi.
Namun bagi mereka, rumah adalah rumah, kecintaan adalah cinta yang mewujud pekerjaan membalikkan tanah-tanah keras berbatu, membelahpaku berkeping-keping kayu di Tengah angin kencang. Menularkan semangat kepada anggota keluarga yang perlu dilindungi (lansia, ibu menyusui dan anak-anak) Menjelma kebahagiaan untuk semua orang. Bagi mereka tak perlu menunggu untuk bahagia.
Niat yang tak menjelma tidaklah benar-benar ada.
Saya beberapa kali membatalkan janji kunjungan/nongkrong/ketemuan/teleponan dengan teman/mitra/saudara/kenalan/kelompok karena beberapa alasan. Padahal Bukan karena alasan-alasannya, yang jelas niat tak menjelma.
Saya sering melontarkan komentar yang akhirnya membuat orang terluka. "Saya tidak bermaksud buruk, becanda kok....." alasan-alasan klise sejenis sering menjadi tameng. Apakah ada niat yang tak menjelma?
Saya melewatkan jadwal-jadwal Doa, komitmen-komitmen yang saya buat di awal tahun, melanggar kesepakatan dengan diri saya sendiri, dengan-Nya. Apakah niat itu?
Yang jelas ketika niat sungguh, ia menjelma.
Menjelma berdampak kebaikan terhadap orang lain terutama diri sendiri. Diri yang dititahkan-Nya untuk siap dituai.
Monday, 17 March 2014
Pesan Cinta
Pertanyaannya, siapa satu orang yang paling akan anda ingat? Apa kalimat terakhir yang paling anda ingin ia tahu?
Pasti kita sering mendapat pertanyaan semacam itu Atau sering membayangkannya. Nyatanya, kejadian benarannya tidak akan datang segampang pertanyaan tersebut. Jadi, dari mana kita bisa tahu Bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan tersebut?
Bulan lalu, di sekolah minggu, kami membagi-bagikan kertas warna-warni berbentuk hati kepada anak-anak di kelas 3-6 SD. Instruksinya adalah:
"Tuliskan pesan yang paling ingin kamu sampaikan kepada satu orang yang paling kamu ingat dan peduli saat ini"
Dalam beberapa menit saja anak-anak sudah sibuk menulis sana-sini. Mereka kelihatan antusias sekali sampai-sampai yang belum bisa menulis juga minta dituliskan pesannya oleh kakak-kakak mereka.
Yang menarik adalah banyak di antara mereka yang menulis pesan untuk orangtua, urutan kedua adalah teman mereka. Ada pesan-pesan yang ditujukan untuk orangtua mereka yang sudah lama tak pulang ke rumah yang isinya bahwa mereka mencintai orangtuanya tersebut, walaupun kepastian orangtuanya akan kembali belum ada. Ada pula pesan cinta yang ditujukan kepada orangtua yang justru sering berkata Atau bertindak kasar kepada mereka.
Saya orang dewasa yang terkadang lalai menanggapi perasaan anak-anak, terkadang Lupa bagaimana rasanya Jadi anak-anak, dan terkadang mengabaikan bahwa anak-anak adalah subjek juga, masih harus belajar dari mereka untuk 'gampang melupakan', 'gampang mengabaikan', dan 'gampang mengalihkan' benci, luka, ketidaksukaan, kejengkelan, menjadi kasih. Tidak cukup sampai di situ saja, mereka pun tidak menyia-nyiakan kapan pun waktu yang ada untuk mengekspresikan kasih mereka tersebut. Begitu sederhananya namun berdampak.
Siapa orang yang paling anda peduli saat ini?
Apa pesan yang anda paling ingin ia tau?
Tentu anda tak akan membiarkan orang tersebut tau bahwa anda mengasihinya menjelang akhir dunia, Bukan?
Saturday, 4 January 2014
Trust Is Treasure
Kita pasti sudah tahu bahwa kepercayaan itu mahal harganya.
Semahal apa ia, itu yang relatif sekali. Relatif juga mahalnya dari sisi kepercayaan terhadap siapa, kepercayaan kita kepada orang lain Atau kepercayaan orang lain terhadap kita.
Saya teringat kejadian dua bulan lalu saat saya ke ATM. Waktu itu siang, saya buru-buru sekali ke ATM untuk mengambil uang tunai sebesar Rp. 100.000 bersama seorang teman. Alih-alih mengambil uang di mesin ATM yang letaknya di dalam ruangan khusus di samping bangunan bank, Teman saya mengusulkan saya mengambil uang di mesin ATM baru yang letaknya di luar pintu bank saja.
Bank tersebut memang baru saja menambah beberapa Mesin ATM di depan pintu bank yang letaknya terbuka. Sebenarnyabsaya tidak terlalu nyaman mengambil uang di tempat terbuka, tapi karena butuh cepat dan hanya 100ribu saya Oke Oke saja, lagi pula, pikir saya waktu itu, toh uang di rekening saya tinggal empat ratus ribuan lagi, Jadi kalau terlihat oleh orang yang mengantri di belakang saya juga tidak Jadi soal.
Ketika saya mulai memasukkan nomor PIN, datang seorang Bapak tua berpenampilan sederhana, dengan wajah ramah dan ceria ia mendatangi saya di mesin ATM pertama (ada 3 mesin ATM berjejer di luar dan waktu itu ada 2 pengguna), "Non, mau ambil uang berapa?" Ia bertanya pada saya.
Dengan penuh kecurigaan, saya menatap orang tua itu dari atas ke bawah, "seratus ribu..... Kenapa, Pak?" Jawab saya.
Bapak itu mulai kikuk, "Tidak, Nona, maksud saya, saya mau kirim uang dua ratus ribu ke rekening ini..." ia mengeluarkan selembar kertas kusut berisi angka-angka, "......pakai ATM nya Nona, nanti saya bayar cash" ujarnya sambil merapikan kertas itu. Pengguna mesin ATM di samping saya juga Jadi ikut mengawasi pembicaraan itu.
Semalam sebelumnya saya membaca artikel modus-modus penipuan via kartu dan mesin ATM. Jadi, kata yang pertama kali terlintas dalam benak saya adalah "waspada". Secara refleks saya langsung menggeleng ke Bapak tua tersebut.
"Tidak bisa, Nona?" Masih dengan senyum ia bertanya. Saya menggeleng lagi dan langsung pergi dari tempat itu dengan teman saya. Sambil motor melaju, dari kejauhan saya sempat mengawasi Bapak tua itu mencoba meminta tolong kepada pengguna mesin ATM di sebelah saya tadi. Mereka sempat terlibat dialog, sampai akhirnya saya sempat melihat kartu ATM digunakan sambil Bapak tua itu membacakan nomor rekening.
***
Di hari lain, saya hendak pulang dari Kelurahan Kawangu menuju Waingapu dengan menggunakan jasa ojek. Oleh masyarakat setempat saya di-stop-kan ojek yang kebetulan lewat.
Sepanjang perjalanan saya sudah siap-siap, kalau nanti om ojeknya menipu saya untuk tarif ojek, saya akan labrak dia dan hanya bayar sesuai standar yang saya tau, yaitu Rp. 15.000. Saya sering mendengar dari cerita-cerita orang lain bahwa banyak ojek yang memaksa orang lain membayar tarif sampai 2 kali lipat dari seharusnya, apalagi kalau yang memakai jasa mereka bukan orang lokal. Saya sendiri kalau harus naik ojek ke desa/kelurahan di luar waingapu biasanya mengontak ojek yang dikenal Atau direkomendasikan kantor untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Akhirnya saya tiba di tempat tujuan. Saya memberikan Rp. 15.000 ke om ojek. Om ojek ini mengamat-amati uang saya. Saya langsung pasang kuda-kuda, jurus marah-marah dengan tone 3 oktaf dinaikkan dari biasanya. Saya lihat om itu mulai membuka helm dan menunjukkan uang ke saya. Tanda-tanda minta tarif tambahan, pikir saya.
"Ini, Ibu, lebih lima ribu......." di luar dugaan saya, ia menyodorkan uang lima ribu saya.
"Bukan lima belas ribu, om?" Tanya saya.
"Tidak, Ibu. Sepuluh ribu saja. Memang begitu" ujarnya sambil tersenyum. "Saya biasa juga antar om xx ke sini bayarnya segitu" ia menyebut nama seorang staf kantor kami. Saya jadi malu sendiri. Saya berterima kasih padanya.
Di Tengah perjalanan pulang ke rumah sorenya, saya Jadi menyesal menerima kembalian lima ribu itu. Harusnya saya malah memberikan lebih kepada om ojek tadi.
Kepercayaan memang menjadi mahal karena sulit meletakkannya dengan tepat dan sulit menentukan takaran yang adil. Antara kepercayaan terhadap kita yang kita harapkan dari orang lain dan kepercayaan kita terhadap orang lain.
Seberapa sering orang mempercayai kita?
Seberapa sering kita Salah memberi kepercayaan?