Peni, adik bungsuku, lahir ketika aku baru naik kelas 4 SD. Bapak kala itu pulang ke rumah buru-buru untuk menjemput aku dan Pera ke rumah sakit.
“Adek udah lahir, Pak? Laki-laki atau perempuan? Kapan bisa pulang ke
rumah?” Aku dan Pera tak sabar mengejar Bapak dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Tak sabar rasanya saat itu aku punya adik lagi. Selama ini, aku dan Pera sudah
terlalu banyak melewati perang saudara, mulai dari rebutan mainan, rebutan
Bapak, rebutan makanan dan lain sebagainya, rasanya kami butuh pengalihan.
Sebagai anak sulung yang sangat otoriter, punya adik lain selain Pera bagiku
sangat menguntungkan karena aku bisa memberi titah-titah absolut kepada 2 orang
sekaligus. Mungkin Pera berpikir sebaliknya, baginya punya adik lagi berarti
dia bisa punya teman bermain, bukan teman berperang seperti selama ini.
Cerita berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Ternyata, kewajiban anak
sulung sungguh berat. Apalagi punya dua orang adik yang rewel. Suatu kali,
orangtua kami meninggalkan kami bertiga di rumah. Setiap pergi, orangtua pasti
menitip kami uang jajan yang harus dibagi 3. Aku selalu keberatan dengan sistem
pembagian itu, faktanya, pembagian itu tidak pernah merata, Peni, sebagai anak
bungsu yang doyan makan, seperti tak pernah kenyang dan tanpa peduli selalu
menangis meraung-raung tiap kali jatah uang jajannya habis. Sebagai anak sulung
yang bertanggung jawab (lebih tepatnya karena malas mendengar tangisannya), aku
kadang terpaksa merelakan uang jajanku untuk mengakomodir kebutuhan jajan Peni.
Tapi waktu itu, aku tidak mau mengalah lagi, tidak mau memberikan uang jajanku
padanya. Aku membiarkan saja Peni mengangis meraung-raung. Puncaknya, tanpa
kami duga, Peni melemparkan bonekanya dengan kesal ke lemari kaca Ibuku. Bukan
hanya kaca yang pecah, salah satu pajangan Ibuku pun ikut pecah. Akhirnya, aku merelakan uang jajan lagi untuknya dan ketika orangtua kami
pulang, tentu saja aku lagi yang terkena omelan.
Tahun demi tahun, tanpa kusadari, Peni menjadi sosok anak yang sangat
ceria dan senang membuat orang lain bahagia. Pernah suatu kali, Ibuku pulang
dari sebuah pesta adat kerabat kami sambil membawa bungkusan berisi kue. Aku
sempat bertanya keheranan karena tidak biasanya Ibuku membawa kue sisa dari
pesta. “Adekndu yang pesan tadi supaya Mamak bungkus dan kasih untuk kakak di
rumah” Ibuku menjawab keherananku. Begitulah, sering ketika pulang berkunjung
dari rumah kerabat yang sering memberinya snack atau pernak-pernik lucu, Peni
tetap membawakannya untuk aku dan Pera.
Minatnya terhadap seni juga makin terlihat. Ia sangat tertarik jika
melihat aku menggambar tokoh-tokoh komik. Setiap kali ia melihat aku selesai
menggambar pesanan dari teman-teman sekelasku, ia langsung buru-buru mengambil
kertas terbaiknya untuk kugambar. Dia kadang memberi pesan-pesan khusus semisal
“rambutnya panjang trus pake pita ya kak” atau “roknya kembang warna biru ya
kak”. Di antara semua permintaannya, sering pula aku menolak menggambar
untuknya dengan alasan masih sibuk. Kadang aku mengomelinya karena aku
menganggap ia terlalu rewel untuk anak seusianya. Setiap aku selesai
menggambar, ia mulai menirunya walaupun waktu itu hasil gambarnya maupun
gambarku sama-sama asimetris sana-sini.
Suatu kali, Aku pulang sekolah cepat, kudapati di rumah Peni juga
sudah pulang dari TK. Ia meringkuk di dekat salah satu lemari sambil terisak.
Pelan kudekati ia, “Kenapa dek?” Peni akhirnya mengangkat wajahnya pelan-pelan
dan berusaha menyeimbangkan isakan tangisnya dengan keinginan untuk berbicara.
Susah payah ia menjawab bahwa di sekolah tadi, ada seorang temannya yang
meledeknya karena sudah tidak mempunyai Bapak lagi. “Kata temanku tadi, Kak,
Bapak kita udah meninggal, makanya aku gak punya Bapak, padahal dia punya Bapak….”
lapornya susah payah. Aku memeluknya dan menenangkannya. Aku menjelaskan
padanya bahwa berbeda dengan Bapak teman-temannya yang lain, Bapak kami
sekarang ada di Sorga. Ia tampaknya bisa menerima dan sejak saat itu aku tak
pernah lagi mendapatinya menangis karena alasan yang sama.
Peni bercita-cita ingin menjadi pelukis terkenal dan membuka galeri
seni. Ia pernah juga menyatakan ingin menjadi penulis komik terkenal. Di lain
waktu, ia bercerita pula bahwa ia bermimpi ingin menjadi perancang busana
terkenal dan bahkan ingin menjadi pemusik terkenal. Ia tak sekedar omong
kosong, saat audisi “Idola Cilik” di RCTI pertama kali dibuka di Medan, ia
ngotot ingin ikut. Berhari-hari ia latihan bernyanyi di depan kaca. Melihat
usaha kerasnya, Kami tak tega mengatakan padanya bahwa audisi itu melelahkan dan
kami tak sanggup mengantarkan dan menungguinya seharian ke Medan untuk ikut
audisi. Aku sering menceritakan ulang kisah itu untuk menggodanya ketika ia
bosan atau kesal, dan setiap aku menyanyikan theme song “Idola Cilik” ia selalu
tertawa terbahak-bahak.
Aku memiliki banyak ketertarikan yang sama dengan Peni, karena itu lah
aku merasa paling ‘nyambung’ dengannya. Kami sering tertawa terbahak-bahak
ketika mengingat adegan-adegan lucu di film kartun Spongebob atau Scooby Doo.
Peni sangat pintar menirukan suara Sponge Bob, Patrick, Scooby Doo, dan Scrabby
Doo. Kami sering berdialog menggunakan suara-suara tokoh kartun ini, dan
setelahnya kami berdua tertawa puas terbahak-bahak. Biasanya Pera hanya
mengamati dan tak berminat terlibat dalam hobi aneh kami tersebut.
Peni sering menghabiskan berlembar-lembar kertas hingga mendapatkan
gambar yang sesuai dengan keinginannya. Ketika aku mulai berkuliah di
Medan, ia sering meminta agar dibawakan oleh-oleh berupa buku sketsa. Tak seperti
aku, kemampuan menggambarnya meningkat dari tahun ke tahun dan tampaknya tak
tergerus oleh minat atau tren lainnya. Setiap aku dan Pera pulang dari luar kota
atau ketika ia ulang tahun, Peni hanya meminta peralatan menggambar dan alat musik
sebagai hadiah untuknya.
Aku tak menyangka Peni sangat konsisten dengan pilihannya, ketika lulus
SMA, ia ingin masuk ke institut seni dengan konsentrasi seni rupa murni, bukan
desain grafis atau desain interior yang lebih mainstream. Aku sempat menanyakan
berulang-ulang keseriusannya dengan menggambarkan konsekuensi dia harus berkuliah di luar Pulau Sumatera hingga lapangan kerja yang mungkin
terbatas. Namun,
ia tetap keukeuh, ia mengurus keberangkatan dan mengikuti tes seorang diri ke
Yogyakarta, bahkan ia sempat bernegosiasi dengan pihak kampus karena dokumen
pendaftaran yang ia kirimkan tiba di hari penutupan pendaftaran, yang mana tak
menghasilkan apapun (haha). Ia sempat nekad ingin mengikuti tes tahun
berikutnya, namun akhirnya di hari terakhir ia di Yogya ia memutuskan untuk
mengikuti tes terakhir masuk kampus USU lusa (haha), mungkin pikirnya, jika ia
harus menunggu kuliah tahun depan lagi, ia akan bosan melakukan persiapan
selama setahun lagi. Apalagi semasa sekolah ia sangat menyibukkan diri dengan mengikuti berbagai kegiatan luar sekolah mulai dari latihan kempo, les bahasa inggris, klub teater, klub pencinta alam dan bimbingan tes universitas. Aku ingat suatu kali di telepon ia bercerita tentang kemajuannya di latihan kempo, ia bangga telah bisa 'membanting' salah seorang temannya yang gemuk. Aku kontan meledeknya, "Kau bukannya gendut juga, dek?" Namun Peni tetap menyangkal bahwa ia gemuk dan tetap mempertahankan pendapat bahwa temannya tersebut jauh lebih gemuk darinya. Pernah juga ia bercerita padaku bahwa saat rumah kami kemasukan ular, Ibuku panik dan langsung meminta Peni mematikan ular tersebut dengan jurus kemponya. Haha.
Aku makin kagum pada Peni yang sangat berani memperjuangkan mimpinya.
Meskipun ia berkuliah di jurusan Sastra Jepang, ia tak pernah absen mengikuti
kompetisi menggambar dan memenanginya, ia juga konsisten menggambar sketsa wajah
dan mengaplikasikannya di atas bajunya sendiri melalui teknik bordir. Ketika seumurannya,
aku tak pernah berpikir melakukan hal yang sama. Ia sering mengeluarkan ide-ide
yang tak biasa ketika membantu ibuku mendesain baju, bahkan ia sudah punya visi
pengembangan usaha keluarga hingga 5 tahun ke depan. Ia pernah mengatakan
padaku, bahwa selepas S1, ia akan mengikuti beasiswa S2 ke Jepang, itulah
sebabnya ia bersemangat sekali mengikuti kursus tambahan bahasa Jepang, agar
bisa cepat-cepat memenuhi standar kemampuan bahasa Jepang untuk tes ke
universitas di Jepang.
Sejak hari ia kritis di rumah sakit hingga hari pemakamannya, kunjungan
dari sahabat-sahabat kami seperti tak pernah berjeda lama. Peni sangat akrab dengan sahabat-sahabatku, Pera dan Ibuku, ia juga paling dekat dengan keluarga besar kami
dan dikenang karena keramahan dan ketulusan hatinya. Seorang sahabat Ibuku
mengatakan di hari terakhir ia bertemu dengan Peni ketika ia hendak ke kampus,
Peni sempat berkata, “Bik, aku titip Mamak ya, Bibik harus sering-sering lihat
Mamak ya” begitulah ia, selalu mengutamakan orang lain dan selalu siap ketika
diminta pertolongan.
Aku pernah memarahinya karena ia bertanya padaku siapa presiden
pertama RI, namun di hari pemakamannya, aku sadar ia lebih banyak memikirkan
hal-hal tak biasa yang tak terpikirkan oleh orang lain di bumi ini. Hari pemakamannya menjadi
ajang re-uni sahabat-sahabatnya sejak SD hingga kuliah, mereka semua
mengeluhkan hal yang sama, “Kalau bukan Peni, siapa lagi yang selanjutnya akan
jadi ‘EO’-nya kita kalau mau ngumpul-ngumpul?” Ibuku bercerita, setiap ia
berangkat ke Medan, ia membawa banyak sekali makanan yang sudah ia rencanakan
untuk diberikan kepada siapa saja di Medan nanti. Setiap dia melakukan
perjalanan ke mana saja, walau singkat sekalipun, ia selalu membawa banyak
snack, bukan untuknya melainkan untuk ia berikan kepada anak-anak kecil yang ia
temui di antrian dan orang tua kelaparan yang ia temui di bus. Senyumnya yang
ramah membuat banyak anak-anak senang berada di dekatnya dan sahabat-sahabat
dari Bapak dan Ibuku mengenangnya sebagai penyebar suka cita.
Aku ingat ketika tahun baru 2017 ketika aku mengunjunginya di Medan,
ia mengajakku, dan sahabatku, Paulina dan Randi, menonton “Arrival”. Di pintu
masuk, Randi dicegat petugas karena membawa air minum dan makanan di tasnya. Di
tengah-tengah adegan film yang sedang sedih-sedihnya, Peni tiba-tiba
mengeluarkan 4 buah jeruk dari tasnya untuk dibagi-bagikan kepada kami. Gagal sedih, kami akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil memakan buah jeruk tersebut
tanpa peduli konsentrasi penonton lain yang rusak akibat ulah kami. Ia selalu menjadi bagian dalam kebahagiaan geng kami, mulai dari lusuh-lusuh naik
turun gunung hingga menghitung jumlah ubin di mall.
Aku bersyukur pada Tuhan bahwa kami mengenang Peni sebagai seorang
malaikat yang Ia kirimkan ke keluarga kami selama 18 tahun. Aku ingat ketika
aku pulang ke Berastagi tahun 2015, saat itu ia juga baru saja mengikuti
katekisasi sidi. Kami berdiskusi tentang kehidupan setelah kematian, bahwa
setiap orang yang telah percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat pasti akan
diselamatkan dan bersama-sama dengan Tuhan di Sorga kelak. Aku selalu
membayangkan ia di Sorga sebagai anak yang cepat bergaul dengan penghuni sorga
dari berbagai bangsa. Di pagi hari mungkin ia akan berjalan-jalan di luar
sambil membawa peralatan melukisnya, setiap siang dia akan belajar memasak
berbagai resep cake baru. Bulan-bulan seperti ini, setiap sore dia akan mempersiapkan
diri latihan paduan suara untuk natal di Sorga. Aku tak tahu apakah setelah di
Sorga dia masih bernyanyi di suara alto. Pada malam hari ia akan belajar
memperdalam bahasa jepangnya, atau kalau bosan ia akan nonton serial Korea
haha. Pada hari sabtu mungkin ia sedang persiapan untuk mengajar anak-anak
sekolah minggu keesokan harinya.
*Dalam bahasa Swahili berarti Malaikat, juga merupakan judul lagu yang ditulis oleh Adam Salim dari Tanzania dan dipopulerkan oleh penyanyi Miriam Makeba