"Saya mendukung siswa yang mencontek dalam ujian...." Anarara, salah satu pengurus kelompok anak dari Desa Tawui menyatakan pendapatnya dan menantang lawannya berargumen.
Anarara, gadis kecil yang dibesarkan dalam keluarga beragama yang taat, disiplin yang kuat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan positif di desanya dan bercita-cita menjadi Pendeta,
tentu tak pernah sekalipun mendukung semua bentuk kecurangan yang dilakukan siswa saat ujian. Ia mengemukakan kalimat tersebut untuk mengajari pengurus desa lainnya yang lebih 'hijau' dalam debat. Akhir Februari lalu, tiga puluhan pengurus anak dari empat desa di Kecamatan Pinupahar: Ramuk, Mahaniwa, Wanggabewa dan Tawui berkumpul selama dua hari di Tawui untuk mengikuti kamp pengurus kelompok anak. Dalam kamp tersebut selain mereka disegarkan dengan devosi mengenai kejujuran dan pengembangan bakat, anak-anak juga diberi materi-materi penunjang yaitu: Debating skills, writing skills dan event organizing skills. Hal ini bertujuan meningkatkan kepercayaan diri mereka dan meningkatkan kualitas kepanitiaan mereka dalam menangani acara-acara kreativitas anak yang sering mereka selenggarakan di desa masing-masing.
Ini adalah kali pertama anak-anak berdebat secara formal. Mosi yang dipakai adalah "Sidang ini percaya bahwa siswa menerima jawaban ujian dari guru saat ujian nasional diperbolehkan". Apalagi sistem yang digunakan adalah Asian Parlementary Debate, di mana setiap tim terdiri atas 3 orang, masing-masing pada tim Affirmative (pro) dan Negative (kontra). Awalnya anak-anak takut-takut mengungkapkan mengungkapkan argumen mereka. Khususnya setiap pembicara pertama tiap tim yang diberi waktu bicara lebih lama. Masalah klasik anak-anak ini adalah takut salah dan takut ditertawakan oleh teman lainnya jika mereka salah bicara. Namun, kami sepakat agar tidak ada anak yg boleh tertawa saat temannya berdebat. Dan semua anak diberi kesempatan berdebat dengan metode ini. Lambat laun, mereka mulai percaya diri sampai-sampai batas waktu bicara yang diberikan tak dirasa cukup oleh para debater cilik ini.
Bagi anak sendiri, debat memiliki daya tarik sendiri karena mereka akhirnya punya kesempatan berbicara dan mendebat pemikiran teman lainnya dengan cara yang santun. Satu hal yang sulit karena banyak anak yang terbiasa mendebat temannya bahkan sebelum temannya selesai berbicara. Melalui debat mereka juga belajar mendengar dan menghargai pendapat orang lain serta berpikir logis. Akhirnya, waktu untuk sesi debat terpaksa diperpanjang karena antusiasme anak untuk berdebat susah dibendung hehe.
Diam-diam saya merasa sedikit iri kepada mereka yang masih kecil tapi berani melawan ketakutan mereka sendiri dan berani mendebat walalupun baru saja belajar tentang apa itu debat. Saya teringat ketika saya pertama kali berdebat di kampus, di usia yang jauh lebih tua dari mereka dan bagaimana saya dan tim sampai salah mempersiapkan mosi debat karena panik yang kelewat besar.
Pengharapan saya terhadap mereka, calon-calon pemimpin masa depan ini tetap tinggi. Saya membayangkan tahun depan mereka bisa mendebat orang-orang dewasa di desa mereka saat musrenbangdes dalam memperjuangkan hak-hak anak. Mereka akan mempersiapkan 'mosi' mereka dengan baik, menyiapkan data-data pendukung tentang keadaan siswa dan gap pendidikan di desa mereka. Mereka juga akan mendebat bila ada kepala desa yang menganggap kegiatan-kegiatan yang mendukung minat dan bakat anak adalah pemborosan. Mereka juga akan memperjuangkan agar prioritas pembangunan di desa bukan hanya pembangunan fisik tapi terlebih pembangunan mental dan karakter generasi, terutama anak-anak yang rentang hidupnya lebih panjang. Mereka akan memperjuangkan agar guru-guru aktif di sekolah, agar transportasi dari rumah ke sekolah mereka difasilitasi, agar mereka tak perlu berangkat dari rumah jam 5 pagi dan tiba di rumah jam 4 sore dengan peluh dan lapar karena jarak yang jauh, agar lomba-lomba minat bakat di desa diperbanyak, agar pembinaan di sanggar-sanggar anak di desa diperbanyak, agar beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi diperbanyak.
Anak-anak layak diperjuangkan haknya bukan karena mereka objek, mereka adalah subjek perjuangan itu sendiri.
Mereka adalah Generasi Sumba Bersinar, mereka sedang berlari menuju masa depan yang bersinar.
Monday, 14 March 2016
Saturday, 5 March 2016
(Another version of) Trust is Treasure
Jam 7 suatu jumat pagi, saya buru-buru harus memenuhi janji temu
dengan seorang mitra yang tinggal agak jauh dari kantor saya. Pagi itu
teman-teman kantor masih menikmati jam olah raga pagi, sehingga saya mencari
ojek di depan kantor. Tidak jauh dari kantor, duduk di atas batu, seorang Bapak
tua berperawakan mongol berkaos putih dan celana tanggung dengan sebuah motor
di sampingnya. Dia melihat saya sambil berujar sesuatu seperti “ojek?”, walaupun
gaya Bapak tersebut agak mencurigakan, saya tetap mengasumsikan ia adalah ojek
sehingga saya meminta Bapak tersebut mengantarkan saya ke alamat yang diminta. Di
tengah perjalanan saya sempat memikirkan beberapa jurus melarikan diri dari
atas motor kalau-kalau om ojek ini bertindak macam-macam.
“Nona, ini su to dem tempat?” om ojek tiba-tiba berhenti. Saya melihat
sekeliling, Saking seriusnya saya memikirkan alternatif-alternatif penyelamatan
diri, saya tidak sadar telah tiba di tujuan.
“Benar su om, bae su” saya turun sambil merogoh dompet ingin
mengeluarkan uang.
“Biar sudah saya tunggu Nona di luar sini saja sampai selesai” Om ojek
menolak saya memberikan uang. Kecurigaan saya pun makin meruncing.
“..tapi saya masih lama om, bisa setengah jam” saya memberi alasan.
“iya, biar sudah tidak apa-apa, saya tunggu saja” Om ojek masih
ngotot. Yang membuat saya makin curiga adalah kengototannya yang agak gugup,
persis penipu. “Pagi begini masih susah cari ojek, biar su saya tunggu saja,
tidak lama” Om ojek seperti menjawab kecurigaan saya. Saya mulai menimbang-nimbang,
demi alas an kepraktisan saya malas juga harus cari ojek lagi setelah ini, lagipula
jarak dari tempat ini ke kantor saya hanya maksimal 2 kilo, dan agak ramai,
plus saya masih bisa melompat dari motor kalau dia macam-macam, plus saya
sedang membawa kunci kamar saya, yang nota bene mainan kuncinya agak runcing
dan bisa saya manfaatkan untuk mengunci gerakan om ojek ini kalau dia
macam-macam, plus alasan pembenar lainnya yang ada di kepala saya saat itu. Akhirnya
saya mengiyakan dan langsung buru-buru ke rumah mitra yang telah berjanji
bertemu dengan saya.
Tepat setengah jam setelahnya, pembicaraan itu selesai dan saya menuju
tempat tunggu om ojek. Benar, ternyata Om ojek masih ada di sana menunggu. “Sudah
selesai, Nona?” Om ojek masih sempat bertanya sebelum kami berangkat kembali ke
kantor. Di perjalanan, kecurigaan saya belum juga hilang. Dengan posisi awas saya
masih memikirkan alternatif penyelamatan diri (haha). Sambil juga memikirkan
bagaimana jika saya tiba di kantor lebih dari jam 8, yang artinya saya akan
telat, yang arti lainnya juga saya akan dipotong cuti setengah hari.
Kecurigaan dan kekhawatiran saya terhenti sejenak ketika motor
tiba-tiba berhenti. Namun alarm tubuh saya makin awas.
“Di sini di kantor to, Nona?” Om ojek menoleh. Lagi-lagi, saking
sibuknya berkutat dengan pikiran, saya tidak sadar sudah berada di depan
kantor. “Oh iya om” saya melangkah turun dan melihat isi dompet. Saya mulai panik
karena ternyata isi dompet adalah lembaran uang seratus ribuan “Wah om…maaf saya tidak ada uang kecil, pakai
uang seratus ribu boleh kah?” saya sambil membolak-balik dompet berharap ada uang
sepuluh ribu yang terselip. Tanpa ba-bi-bu, om ojek langsung membuka dompet dan
memilah-milah lembaran uang di dalamnya. Tanpa sengaja saya melirik isi
dompetnya, ternyata ada banyak lembaran seratus ribuan, lima puluh ribuan,
sepuluh ribuan, hingga lima ribuan. Saya sempat berpikiran jangan-jangan itu
semua adalah uang palsu. Namun, pemikiran itu agak sirna karena
lembaran-lembaran tersebut terlihat agak kusam, seperti hasil dari transaksi
dagang di lapangan. Saya bersyukur ada uang sepuluh ribuan di dalamnya, karena
paling tidak uang seratus ribu saya tidak akan dikembalikan dengan uang lima
puluh ribu dengan alasan tidak cukup ‘uang kecil’ (haha).
“Ini, Nona…” Om ojek menyerahkan saya sejumlah uang, saya menghitung
dengan cepat, jumlahnya Sembilan puluh lima ribu rupiah.
“eh…ini kebanyakan om,” saya mengembalikan sepuluh ribu lagi ke om
ojek.
“Tidak…tidak, pas sudah itu…terlalu banyak lagi itu…” Om ojek menolah
uang dari saya. “Pas sudah, ojek hanya lima ribu saja sebenarnya, kan hanya
dekat saja” ia memberi alasan.
“tapi tadi itu kan om tunggu selama setengah jam…” saya masih ngotot
dengan sepuluh ribu di tangan kanan
untuk diserahkan ke Om ojek. Om ojek tetap mengelak.
“…tidak bisa, Nona…itu tarif sudah itu, mana kita mau bikin-bikin tarif
lagi…pas sudah…sama saja” “……waduh, terima kasih su e, om…” dengan masih agak
bingung, akhirnya saya menarik uang sepuluh ribu itu dan menyimpan kembalian
uang sebanyak Sembilan puluh lima ribu itu kembali ke dalam dompet. Om ojek pun
akhirnya pergi setelah saya berterima kasih yang kedua kalinya.
Saya sempat menceritakan keajaiban hari itu –Om Ojek berwajah Mongol
beruang banyak-- ke beberapa teman dan iseng-iseng kami memperhatikan uang
kembalian, ternyata uang itu adalah uang asli (haha). “Mungkin pekerjaan
utamanya adalah pedagang, nyambi ojek, makanya masih pagi uangnya sudah banyak”
salah satu teman saya berkomentar. Sepulang rumah, selesai berganti pakaian,
saya masih memeriksa pakaian kantor saya, jangan-jangan ada penyadap suara yang
tertempel atau alat spionase lainnya, ternyata tida ada satu pun. Benar ternyata
bahwa Om Ojek tersebut bukanlah agen mata-mata seperti yang saya duga.
Oya, Saya akhirnya masuk kantor tepat waktu. Sambil melangkah ke
ruangan dengan kebingungan, saya masih mencerna kejadian barusan. Banyak hal
yang mencurigakan dari Om ojek tersebut, namun pada akhirnya tak satupun dari
kecurigaan saya terbukti, malah sebaliknya om Ojek bermotivasi dan berbuat baik
terhadap saya. Saya baru sadar saya belum sempat mensyukuri kejadian tadi dan
belum juga meminta maaf (kepada Tuhan) atas prasangka buruk saya.
Sekali lagi, Trust is Treasure, bijak-bijaklah meletakkannya!
Note: "Trust is Treasure" pernah menjadi judul postingan saya dengan pengalaman sejenis: http://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.htmlhttp://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.html
Subscribe to:
Posts (Atom)