Walaupun sudah sering mandi di sungai, selalu saja ada pengalaman
berharga yang selalu saya garis bawahi. Seperti beberapa minggu lalu saat saya
tinggal di Kecamatan P dan Kecamatan K.
Selama berada di Kecamatan P, saya menginap di desa T, di rumah
keluarga salah satu tutor PAUD , Mama Adinda[1],
keluarga ini adalah keluarga yang sangat hangat, saat saya datang kebetulan
sedang masuk tahun ajaran baru, dan sebagaimana keluarga yang tinggal di ibu kota
kecamatan,keluarga Mama Adinda juga kedatangan anak-anak dari desa tetangga
yang dititipi oleh keluarganya untuk bersekolah di Desa T.[2]
Tahun ini, keluarga Mama Adinda kedatangan Rina, Tini dan Kevin[3]
yang masing-masing bersekolah di SMP.
Tibalah saatnya untuk mandi. Sesuai
saran Mama Adinda, kami akan mandi di sungai yang paling dekat rumah, letaknya
persis di belakang kebun sayur milik keluarga mereka. Dengan semangat saya
mengikuti Mama Adinda, Rina, Tini, dan Kevin. Membayangkan sungai yang
mengalir, sehabis mandi memetik sayur segar membuat saya makin bersemangat
berlari-lari menuju sungai impian. Kebun sayur terlihat makin dekat. Lalu kami
akhirnya menyusuri kebun sayur. Kami melewati beberapa anggota keluarga dari
kerabat Mama Adinda sementara menyiram sayur. Sekarang di depan kami terlihat
pagar pembatas kebun sayur.
“Su sampaaaiiiiiii!!!!!” Kevin berseru senang. Yang benar saja? Di
seberang pagar pembatas hanya ada genangan air keruh yang tingginya hanya
semata kaki. Tapi sepertinya benar karena mereka semua sudah melompati pagar
pembatas kayu setinggi betis yang jarak
kayu satu ke kayu lainnya sangat jauh. Keempat partner
‘perjalanan-petualangan-menuju-sungai’ saya sudah menjalankan ritual mandi di
sungai nan dalam di sana.
“ini su dia ini?” saya masih menunjuk ‘sungai’ yang dimaksud dengan
tak percaya kami mandi dengan ‘ditonton’ oleh penyiram sayur lainnya. Empat orang
lainnya masih asyik dengan mandinya. Genangan air semata kaki itu langsung
berubah sangat keruh ketika mereka mandi di situ. Secara teknis memang tempat
kami mandi tersebut adalah seperti aliran sungai, dan memang airnya berasal
dari sebuah sungai agak besar yang terletak kira-kira empat kilo dari tempat
itu. Tapi menurut mereka di desa itu tidak banyak pilihan cabang-cabang sungai
untuk mandi karena sungai agak besar (yang konon satu-satunya di desa T) itu
sendiri selain jauh juga sangat terbuka, sehingga kurang privat (ceileh!)
Beberapa tahun lalu organisasi kami pernah membantu mengadakan sumur
bor di desa tersebut, tapi setelah tergali sekian dalam dan tak lama setelah
mendapatkan air, sumur tersebut longsor dari pasir. Masyarakat pernah terbantu
dengan program perpipaan di desa tersebut, tapi karena masalah klasik seperti
perawatan infrastruktur, pembayaran iuran dan komite air akhirnya fasilitas
tersebut pun akhirnya seperti tidak berarti apa-apa bagi masyarakat. Ketika
saya tanyakan pendapat pemerintah lokal, mereka hanya mengendikkan bahu,
pertanda kelelahan atau skeptisme barangkali.
Pelan-pelan akhirnya saya melangkahkan kaki ke genangan air semata
kaki tersebut, mengambil air dengan gayung batok kelapa lalu mandi di sungai
impian tersebut. Benar saja, begitu saya melangkah, genangan air di
sekelilingnya langsung berubah makin keruh. Tini masih sempat mengomel, “Kaka,
kalau mau mandi, dari atas batu sa too….ini kita mau mandi langsung su keruh
memang….”. Jadi, jika ingin mandi dengan
tenang syaratnya harus jalan pelan-pelan di atas air yang lebih dangkal (yang
lebih rendah dari batas mata kaki) ke atas batu, lalu lakukan semua ritualnya
di atas sana. Saya sempat berpikir jika lain kali datang untuk membawa gayung
yang dilubangi banyak dan kecil-kecil sehingga saya bisa merasakan efek mandi
shower, sekalian supaya hemat air.
Empat hari saya di sana akhirnya saya lancar mandi menggunakan
genangan air semata kaki dari atas batu. Dan tanpa gayung-efek-shower-impian
saya. Hari terakhir, Tini mengajak saya
–meniru istilahnya Tini- ‘mandi
puas-puas’. Syaratnya harus malam-malam, “mandi di sumber air, Kaka, air besar
ini…” katanya promosi. Saya mengiyakan saja, entah sebesar apa sumber airnya,
tapi saya siap saja, karena mandi di genangan air semata kaki yang mem-PHP-kan
saya saja saya sudah berlapang dada. “Kaka siap baju-baju kalau ada yang mau
dicuci karena di sana bisa cuci puas-puas, malam-malam angin kencang begini
tidak ada orang di sana” Tini masih mengiklan.
Malamnya kami akhirnya dibonceng bergantian oleh Bapa Adinda menuju
‘air besar’, ternyata cukup jauh. Dan memang sepanjang jalan dan di sekitar
lokasi air besar terlihat sepi. Ternyata baru saja ada bayi meninggal dekat
lokasi itu sehingga banyak keluarga yang pergi mete (melayat, menunggui semalam suntuk) di rumah keluarga duka.
“Su sampaiiii!” Tini berteriak penuh suka cita. Saya hanya bengong
menatap sumber ‘air besar’ yang dimaksud. Sebuah fiber air kuning besar yang
posisinya langsung berhadapan dengan jalan raya, tanpa dihalangi oleh apapun.
Tanpa ba bi bu lagi, Tini langsung membuka sumbat pipa tempat air keluar dari
fiber tersebut dan….”Byuuuuuurrrrrr!” air mengalir deras dari pipa tersebut.
Tidak ada keran. Jadi acara mandi-mandi malam itu lebih mirip acara perang air.
Air mengenai tubuh kami seperti ketimpaan bongkahan batu es, dingin dan berat.
Dan memang mirip situasi perang karena setiap ada langkah kaki, cahaya atau
suara motor dari kejauhan, saya senantiasa was-was karena lambat bergerak
sedikit saja, keberadaan kami akan terekspos sebagai pemandi-pemandi (halah!)
Malam itu saya, Tini dan Mama Amanda pulang ke rumah dengan tubuh yang
segar karena mandi dengan sumber ‘air besar’. Tini benar tentang air besar
tersebut, karena fiber tersebut adalah bagian dari proyek perpipaan yang pernah
ada di desa T. Fiber tersebut merupakan penampung air yang seharusnya
disalurkan ke rumah-rumah sekitar, tapi karena kerusakan fisik dan mental
(manusia) akhirnya suatu waktu, air tersebut hanya berhenti di situ saja.
Keluarga Mama Amanda pun jarang mandi ke tempat ini, hanya jika mereka punya
banyak cucian dan ingin sekali ‘mandi puas-puas’ saja mereka datang ke tempat
tersebut.
***
Minggu berikutnya saya menginap di Kecamatan K. Di Kecamatan ini saya
pun biasa tinggal di posko di dekat pastori keluarga pendeta sebuah gereja. Di
sini pun saya sempat merasa di-PHP-kan oleh ‘sungai’ versi setempat. Sungai
tempat saya biasa mandi ternyata adalah bagian dari selokan, tempat air irigasi
sawah padi. Tapi ‘sungai’ ini cukup memuaskan karena saat kering pun airnya bisa
hingga sepinggang orang dewasa. Karena lokasi mandi kami terletak di bawah
pohon-pohon besar, kewas-wasan kami adalah: Pertama, ketika ulat bulu bisa
jatuh kapan saja mereka mau. Kedua, karena sawah padi juga merangkap tempat
bermain layangan dan jalan lintas kuda dan kerbau, maka ritual mandi selalu
dijaga oleh seorang mata-mata yang mengawasi para pemakai jalan yang bisa
melintas kapan saja mereka mau.
Satu kali, seperti biasa, saya mandi
sekaligus mencuci pakaian bersama para remaja SMP yang tinggal di
pastori, mereka juga adalah anak-anak dari berbagai desa yang dititip
orangtuanya untuk bersekolah SMP di Desa K, ibu kota kecamatan K. Ritual
mencuci pakaian selalu dibarengi pinjam-meminjam sikat dan deterjen (haha).
Giliran saya memakai sikat sudah selesai, sikat pun digilir ke pencuci lainnya.
Saat dengan asyik-asyik menyikat pakaian, tiba-tiba Kitty[4],
anak perempuan bungsu pendeta berseru kaget ke Rini[5]
yang sedang ‘khuyuk’ menyikat, “Ha! Itu bukan sikat pakaian, Ha!” ia menunjuk
sikat. Rini terkaget, tapi tetap mencuci. “itu sikat sepatunya Bapa!” Kitty
meyakinkan, namun tetap dengan rasa was-was. Rini dan remaja lain melihat sikat
itu lekat-lekat. Dan memang, itu sikat semir sepatu. Rini buru-buru memasukkan
sikat itu ke dalam ember. Ia melanjutkan ritual mencuci dengan mengucek semua
pakaiannya dengan tangan. Begitu pula remaja lainnya. Termasuk saya, walaupun
sudah selesai mencuci, tapi demi menegaskan bahwa saya bukan termasuk pelaku
kekeliruan massal tersebut, saya kembali
mengucek pakaian-pakaian saya. Dan tak lupa saya menambahkan, menyikat sepatu
karet saya dengan sikat gigi yang kebetulan saya bawa lebih.
Sejujurnya, selama dua hari kami semua memakai sikat sepatu tersebut
mencuci pakaian-pakaian. Walaupun sempat terbersit keherananan dalam hati, kok
bisa ya sikat pakaian selembut ini? Tapi keherananan tersebut tidak terlalu
berarti karena kami terus menyikat pakaian dengan sikat yang sama dan, tentu
saja, mempercepat kebotakan sikat sepatu tersebut.
Apapun itu, ritual mandi di ‘sungai’ pasti selalu mendatangkan
sukacita dalam berbagai bentuk.
[1]
Bukan nama sebenarnya
[2] Pada umumnya, di desa-desa wilayah
selatan Sumba Timur, SMP hanya satu ada di ibu kota kecamatan, sedangkan sekolah
setaraf SMA hanya ada masing-masing satu di sebagian kecil ibu kota kecamatan
saja.
[3]
Bukan nama sebenarnya
[4]
Bukan nama sebenarnya
[5]
Bukan nama sebenarnya