Sunday, 25 November 2018

Tidur

Fungsinya adalah:

1. Memulihkan tenaga yang terkuras secara fisik maupun mental
2. Membersihkan file-file yang kurang berguna dari memori. Misalnya: ingatan tentang perkataan-perkataan saya dan orang lain yang menyebalkan. Dampak baiknya bagi memori: Profile orang tersebut tetap tersimpan sebagai orang yang menyenangkan.
3. Menekan pikiran-pikiran buruk
4. Menunda pemikiran impulsif sekaligus mencegah tindakan gegabah
5. Mengalihkan keinginan ngemil (tidak dikategorikan sama dengan nomor 4, karena yang nomor 5 memang tidak boleh dilakukan)

Cara supaya gampang tidur malam yang berkualitas:
1. Olah raga pagi
2. Tidur di bawah jam 10 malam (kayaknya bisa optional asalkan yang nomor 1 bisa dilakukan)

*Dihimpun dari lamunan-lamunan di perjalanan

Sunday, 11 November 2018

Renungan 15 Mei 2016

Pada tanggal tersebut saya lupa sedang merenungkan atau mendoakan apa, namun saya bersyukur bisa menemukan catatan ini lagi untuk menjaga nyala api di hati (yang kadang hendak padam). Tahun itu saya punya banyak waktu merenung di desa-desa yang tak bersinyal dan tak berlistrik. Mungkin itu salah satu faktor pemicu bisa menghasilkan tulisan-tulisan mellow seperti ini.

1. No electricity, no gadgets and lack of other facilities are not a permissive reason to be outdated, unproductive, and uncreative
2. Deadline is no longer about what comes first will be finished first. What is the most emergency or strategic must be prioritized
3. Just because something haven't been taught what haven't been tested doesn't meant it's impossible
4. Words is not just as it is
5. To be positive in attitude is not merely a choice, it's a must in order to motivate our surroundings to be more colorful and cheerfull for better world for child well being
6. No need consensus when declaring the battle toward evils, to declare your mind, and to prove something's right
7. Develop network (formal/informal, at villages/at town, at work/out of work) is vital not only to optimalize the ministry but also to balance your life
8. View is not just as it is. See wider, think deeper and you'll do more
9. Maintaning the community well is never enough. We are not common people of mediocrity. We are exist to BRING them (means: enable community to CREATE, not us create by ourselves) into the more extraordinary phase 
10. Make sure we have enough to love ourselves first before spreading our loves to surroundings to ensure we won't be collapsed while feeding people. Always eat a lot, entertain yourself a lot, pray a lot. 
11. Make sure you are good, strong, stable to be a mirror for others. You are a great mirror when no one left uncertain uncomfort worried shadows of themselves after looking at you.
12. Being opressed in whatever stages at community is a challenge to be broken, not a barrier. We are exist to influence community not to be influenced. 
13. Many people at community, even maybe those who are ideally become our partners, are difficult. Pray a lot for them. Those who are most difficult may be our greatest ally some day.

Saturday, 18 November 2017

Malaika*


Peni, adik bungsuku, lahir ketika aku baru naik kelas 4 SD. Bapak kala itu pulang ke rumah buru-buru untuk menjemput aku dan Pera ke rumah sakit.

“Adek udah lahir, Pak? Laki-laki atau perempuan? Kapan bisa pulang ke rumah?” Aku dan Pera tak sabar mengejar Bapak dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tak sabar rasanya saat itu aku punya adik lagi. Selama ini, aku dan Pera sudah terlalu banyak melewati perang saudara, mulai dari rebutan mainan, rebutan Bapak, rebutan makanan dan lain sebagainya, rasanya kami butuh pengalihan. Sebagai anak sulung yang sangat otoriter, punya adik lain selain Pera bagiku sangat menguntungkan karena aku bisa memberi titah-titah absolut kepada 2 orang sekaligus. Mungkin Pera berpikir sebaliknya, baginya punya adik lagi berarti dia bisa punya teman bermain, bukan teman berperang seperti selama ini.

Cerita berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Ternyata, kewajiban anak sulung sungguh berat. Apalagi punya dua orang adik yang rewel. Suatu kali, orangtua kami meninggalkan kami bertiga di rumah. Setiap pergi, orangtua pasti menitip kami uang jajan yang harus dibagi 3. Aku selalu keberatan dengan sistem pembagian itu, faktanya, pembagian itu tidak pernah merata, Peni, sebagai anak bungsu yang doyan makan, seperti tak pernah kenyang dan tanpa peduli selalu menangis meraung-raung tiap kali jatah uang jajannya habis. Sebagai anak sulung yang bertanggung jawab (lebih tepatnya karena malas mendengar tangisannya), aku kadang terpaksa merelakan uang jajanku untuk mengakomodir kebutuhan jajan Peni. Tapi waktu itu, aku tidak mau mengalah lagi, tidak mau memberikan uang jajanku padanya. Aku membiarkan saja Peni mengangis meraung-raung. Puncaknya, tanpa kami duga, Peni melemparkan bonekanya dengan kesal ke lemari kaca Ibuku. Bukan hanya kaca yang pecah, salah satu pajangan Ibuku pun ikut pecah. Akhirnya, aku merelakan uang jajan lagi untuknya dan ketika orangtua kami pulang, tentu saja aku lagi yang terkena omelan.

Tahun demi tahun, tanpa kusadari, Peni menjadi sosok anak yang sangat ceria dan senang membuat orang lain bahagia. Pernah suatu kali, Ibuku pulang dari sebuah pesta adat kerabat kami sambil membawa bungkusan berisi kue. Aku sempat bertanya keheranan karena tidak biasanya Ibuku membawa kue sisa dari pesta. “Adekndu yang pesan tadi supaya Mamak bungkus dan kasih untuk kakak di rumah” Ibuku menjawab keherananku. Begitulah, sering ketika pulang berkunjung dari rumah kerabat yang sering memberinya snack atau pernak-pernik lucu, Peni tetap membawakannya untuk aku dan Pera.

Minatnya terhadap seni juga makin terlihat. Ia sangat tertarik jika melihat aku menggambar tokoh-tokoh komik. Setiap kali ia melihat aku selesai menggambar pesanan dari teman-teman sekelasku, ia langsung buru-buru mengambil kertas terbaiknya untuk kugambar. Dia kadang memberi pesan-pesan khusus semisal “rambutnya panjang trus pake pita ya kak” atau “roknya kembang warna biru ya kak”. Di antara semua permintaannya, sering pula aku menolak menggambar untuknya dengan alasan masih sibuk. Kadang aku mengomelinya karena aku menganggap ia terlalu rewel untuk anak seusianya. Setiap aku selesai menggambar, ia mulai menirunya walaupun waktu itu hasil gambarnya maupun gambarku sama-sama asimetris sana-sini.

Suatu kali, Aku pulang sekolah cepat, kudapati di rumah Peni juga sudah pulang dari TK. Ia meringkuk di dekat salah satu lemari sambil terisak. Pelan kudekati ia, “Kenapa dek?” Peni akhirnya mengangkat wajahnya pelan-pelan dan berusaha menyeimbangkan isakan tangisnya dengan keinginan untuk berbicara. Susah payah ia menjawab bahwa di sekolah tadi, ada seorang temannya yang meledeknya karena sudah tidak mempunyai Bapak lagi. “Kata temanku tadi, Kak, Bapak kita udah meninggal, makanya aku gak punya Bapak, padahal dia punya Bapak….” lapornya susah payah. Aku memeluknya dan menenangkannya. Aku menjelaskan padanya bahwa berbeda dengan Bapak teman-temannya yang lain, Bapak kami sekarang ada di Sorga. Ia tampaknya bisa menerima dan sejak saat itu aku tak pernah lagi mendapatinya menangis karena alasan yang sama.

Peni bercita-cita ingin menjadi pelukis terkenal dan membuka galeri seni. Ia pernah juga menyatakan ingin menjadi penulis komik terkenal. Di lain waktu, ia bercerita pula bahwa ia bermimpi ingin menjadi perancang busana terkenal dan bahkan ingin menjadi pemusik terkenal. Ia tak sekedar omong kosong, saat audisi “Idola Cilik” di RCTI pertama kali dibuka di Medan, ia ngotot ingin ikut. Berhari-hari ia latihan bernyanyi di depan kaca. Melihat usaha kerasnya, Kami tak tega mengatakan padanya bahwa audisi itu melelahkan dan kami tak sanggup mengantarkan dan menungguinya seharian ke Medan untuk ikut audisi. Aku sering menceritakan ulang kisah itu untuk menggodanya ketika ia bosan atau kesal, dan setiap aku menyanyikan theme song “Idola Cilik” ia selalu tertawa terbahak-bahak.

Aku memiliki banyak ketertarikan yang sama dengan Peni, karena itu lah aku merasa paling ‘nyambung’ dengannya. Kami sering tertawa terbahak-bahak ketika mengingat adegan-adegan lucu di film kartun Spongebob atau Scooby Doo. Peni sangat pintar menirukan suara Sponge Bob, Patrick, Scooby Doo, dan Scrabby Doo. Kami sering berdialog menggunakan suara-suara tokoh kartun ini, dan setelahnya kami berdua tertawa puas terbahak-bahak. Biasanya Pera hanya mengamati dan tak berminat terlibat dalam hobi aneh kami tersebut. 

Peni sering menghabiskan berlembar-lembar kertas hingga mendapatkan gambar yang sesuai dengan keinginannya. Ketika aku mulai berkuliah di Medan, ia sering meminta agar dibawakan oleh-oleh berupa buku sketsa. Tak seperti aku, kemampuan menggambarnya meningkat dari tahun ke tahun dan tampaknya tak tergerus oleh minat atau tren lainnya. Setiap aku dan Pera pulang dari luar kota atau ketika ia ulang tahun, Peni hanya meminta peralatan menggambar dan alat musik sebagai hadiah untuknya.

Aku tak menyangka Peni sangat konsisten dengan pilihannya, ketika lulus SMA, ia ingin masuk ke institut seni dengan konsentrasi seni rupa murni, bukan desain grafis atau desain interior yang lebih mainstream. Aku sempat menanyakan berulang-ulang keseriusannya dengan menggambarkan konsekuensi dia harus berkuliah di luar Pulau Sumatera hingga lapangan kerja yang mungkin terbatas. Namun, ia tetap keukeuh, ia mengurus keberangkatan dan mengikuti tes seorang diri ke Yogyakarta, bahkan ia sempat bernegosiasi dengan pihak kampus karena dokumen pendaftaran yang ia kirimkan tiba di hari penutupan pendaftaran, yang mana tak menghasilkan apapun (haha). Ia sempat nekad ingin mengikuti tes tahun berikutnya, namun akhirnya di hari terakhir ia di Yogya ia memutuskan untuk mengikuti tes terakhir masuk kampus USU lusa (haha), mungkin pikirnya, jika ia harus menunggu kuliah tahun depan lagi, ia akan bosan melakukan persiapan selama setahun lagi. Apalagi semasa sekolah ia sangat menyibukkan diri dengan mengikuti berbagai kegiatan luar sekolah mulai dari latihan kempo, les bahasa inggris, klub teater, klub pencinta alam dan bimbingan tes universitas. Aku ingat suatu kali di telepon ia bercerita tentang kemajuannya di latihan kempo, ia bangga telah bisa 'membanting' salah seorang temannya yang gemuk. Aku kontan meledeknya, "Kau bukannya gendut juga, dek?" Namun Peni tetap menyangkal bahwa ia gemuk dan tetap mempertahankan pendapat bahwa temannya tersebut jauh lebih gemuk darinya. Pernah juga ia bercerita padaku bahwa saat rumah kami kemasukan ular, Ibuku panik dan langsung meminta Peni mematikan ular tersebut dengan jurus kemponya. Haha.

Aku makin kagum pada Peni yang sangat berani memperjuangkan mimpinya. Meskipun ia berkuliah di jurusan Sastra Jepang, ia tak pernah absen mengikuti kompetisi menggambar dan memenanginya, ia juga konsisten menggambar sketsa wajah dan mengaplikasikannya di atas bajunya sendiri melalui teknik bordir. Ketika seumurannya, aku tak pernah berpikir melakukan hal yang sama. Ia sering mengeluarkan ide-ide yang tak biasa ketika membantu ibuku mendesain baju, bahkan ia sudah punya visi pengembangan usaha keluarga hingga 5 tahun ke depan. Ia pernah mengatakan padaku, bahwa selepas S1, ia akan mengikuti beasiswa S2 ke Jepang, itulah sebabnya ia bersemangat sekali mengikuti kursus tambahan bahasa Jepang, agar bisa cepat-cepat memenuhi standar kemampuan bahasa Jepang untuk tes ke universitas di Jepang.

Sejak hari ia kritis di rumah sakit hingga hari pemakamannya, kunjungan dari sahabat-sahabat kami seperti tak pernah berjeda lama. Peni sangat akrab dengan sahabat-sahabatku, Pera dan Ibuku, ia juga paling dekat dengan keluarga besar kami dan dikenang karena keramahan dan ketulusan hatinya. Seorang sahabat Ibuku mengatakan di hari terakhir ia bertemu dengan Peni ketika ia hendak ke kampus, Peni sempat berkata, “Bik, aku titip Mamak ya, Bibik harus sering-sering lihat Mamak ya” begitulah ia, selalu mengutamakan orang lain dan selalu siap ketika diminta pertolongan.

Aku pernah memarahinya karena ia bertanya padaku siapa presiden pertama RI, namun di hari pemakamannya, aku sadar ia lebih banyak memikirkan hal-hal tak biasa yang tak terpikirkan oleh orang lain di bumi ini. Hari pemakamannya menjadi ajang re-uni sahabat-sahabatnya sejak SD hingga kuliah, mereka semua mengeluhkan hal yang sama, “Kalau bukan Peni, siapa lagi yang selanjutnya akan jadi ‘EO’-nya kita kalau mau ngumpul-ngumpul?” Ibuku bercerita, setiap ia berangkat ke Medan, ia membawa banyak sekali makanan yang sudah ia rencanakan untuk diberikan kepada siapa saja di Medan nanti. Setiap dia melakukan perjalanan ke mana saja, walau singkat sekalipun, ia selalu membawa banyak snack, bukan untuknya melainkan untuk ia berikan kepada anak-anak kecil yang ia temui di antrian dan orang tua kelaparan yang ia temui di bus. Senyumnya yang ramah membuat banyak anak-anak senang berada di dekatnya dan sahabat-sahabat dari Bapak dan Ibuku mengenangnya sebagai penyebar suka cita.

Aku ingat ketika tahun baru 2017 ketika aku mengunjunginya di Medan, ia mengajakku, dan sahabatku, Paulina dan Randi, menonton “Arrival”. Di pintu masuk, Randi dicegat petugas karena membawa air minum dan makanan di tasnya. Di tengah-tengah adegan film yang sedang sedih-sedihnya, Peni tiba-tiba mengeluarkan 4 buah jeruk dari tasnya untuk dibagi-bagikan kepada kami. Gagal sedih, kami akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil memakan buah jeruk tersebut tanpa peduli konsentrasi penonton lain yang rusak akibat ulah kami. Ia selalu menjadi bagian dalam kebahagiaan geng kami, mulai dari lusuh-lusuh naik turun gunung hingga menghitung jumlah ubin di mall.

Aku bersyukur pada Tuhan bahwa kami mengenang Peni sebagai seorang malaikat yang Ia kirimkan ke keluarga kami selama 18 tahun. Aku ingat ketika aku pulang ke Berastagi tahun 2015, saat itu ia juga baru saja mengikuti katekisasi sidi. Kami berdiskusi tentang kehidupan setelah kematian, bahwa setiap orang yang telah percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat pasti akan diselamatkan dan bersama-sama dengan Tuhan di Sorga kelak. Aku selalu membayangkan ia di Sorga sebagai anak yang cepat bergaul dengan penghuni sorga dari berbagai bangsa. Di pagi hari mungkin ia akan berjalan-jalan di luar sambil membawa peralatan melukisnya, setiap siang dia akan belajar memasak berbagai resep cake baru. Bulan-bulan seperti ini, setiap sore dia akan mempersiapkan diri latihan paduan suara untuk natal di Sorga. Aku tak tahu apakah setelah di Sorga dia masih bernyanyi di suara alto. Pada malam hari ia akan belajar memperdalam bahasa jepangnya, atau kalau bosan ia akan nonton serial Korea haha. Pada hari sabtu mungkin ia sedang persiapan untuk mengajar anak-anak sekolah minggu keesokan harinya.

*Dalam bahasa Swahili berarti Malaikat, juga merupakan judul lagu yang ditulis oleh Adam Salim dari Tanzania dan  dipopulerkan oleh penyanyi Miriam Makeba

Monday, 31 October 2016

Refornita The Reformer

Saya punya beberapa teman yang kesan pertamanya versus kenyataannya sangat signifikan. Salah satunya adalah Kak Vonny. Pertama kali bertemu kak vonny di kantor tempat saya bertugas, kak vonny menunjukkan sikap lemah lembut dan mbak-mbak banget. Apalagi sebelum bertemu Kak Vonny, saya mendengar dari teman satu batch saya di organisasi, Kak Ibeth, bahwa Kak Vonny adalah rekan sepersekutuannya di Yogyakarta dan juga merupakan mantan staf di persekutuan tersebut. Imej saya tentang Kak Vonny pun makin terbentuk sebagai sosok kakak-kakak persekutuan yang lemah lembut dan bijaksana.

Tak perlu waktu lama untuk mengetahui kebenaran bahwa Kak Vonny ternyata adalah sosok yang heboh, terlalu heboh dan cerewet level internasional. Berbanding terbalik dengan usianya yang tak lagi muda, namun sesuai dengan raut wajahnya yang kekanak-kanakan, tingkahnya pun kadang kekanak-kanakan. Sering ia tertawa keras-keras sampai lupa kalau di rumah dia masih punya tugas rutin merawat babi yang belum dia penuhi. Jika berbicara di depan umum kerap tingkah lakunya bagai anak SMP, tersenyum malu-malu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kalau berdebat sesuatu yang tidak penting ia sering ngotot seperti anak SD yang sedang memperdebatkan tokoh game favorit mereka. Sering juga ia malas tau terhadap mitra-mitra kerjanya di lapangan yang nota bene mitra-mitra formal. Kalau ada mitra-mitra yang menjengkelkan, maka tanpa diplomasi ba bi bu lagi ia langsung ceplas-ceplos mengungkapkan kejengkelannya melalui raut wajah maupun kata-kata.

Saya akhirnya lupa dengan imej awal saya tentang Kak Vonny sebagai sosok kakak persekutuan yang lemah lembut dan bijaksana. Kadang-kadang Kak Vonny juga suka menasehati saya dan menjebak saya untuk curcol haha. Terutama waktu itu Kak Vonny sering menasehati saya tentang jam doa. Waktu itu saya sempat mengungkapkan pada Kak Vonny bahwa saya kesal sekali jika disuruh berdoa pagi dan merasa tersiksa melewati jam ibadah pagi. Namun Kak Vonny tidak menunjukkan kekesalan sedikitpun pada saya, malah ia memaklumi dan menanggapinya dengan candaan. Kak Vonny juga waktu itu sering bilang ke saya, “Kau itu macam pandangan kosong kalau orang omong na. Saya tau kau itu tidak bodoh, tapi coba kau lebih seimbangkan kau punya pengetahuan itu dengan spiritual juga…” biasanya saya tidak suka diatur-atur seperti itu, tapi karena Kak Vonny menyampaikannya dengan cara yang sangat kasual jadinya saya nyaman-nyaman saja mendengarnya dan agak mempertimbangkan kata-katanya juga, dan pasti sebelum itu dia berdoa banyak buat saya. Sampai suatu waktu oleh Kak Vonny dan Kak Ibeth yang menyusul datang ke Sumba saya dikenalkan dengan teman-teman persekutuannya dan diajak ikut cell group. Saya lupa waktu itu saya diajak atau saya yang maksa ikutan haha.

Entah bagaimana, lambat laun saya merasakan significant change yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin karena banyak bergaul intens dengan Kak Vonny dan Kak Ibeth, apalagi tak lama setelah itu Kak Renny, salah satu rekan persekutuan mereka juga bergabung di organisasi kami sebagai volunteer media. Pernah suatu malam saya mendengar lagu rohani (yang saya tidak tau judulnya apa dan belum pernah dengar juga sebelumnya) sampai menangis sesenggukan. Kalau disuruh menjelaskan refleksi saya tentang lagu tersebut, saya juga susah mengungkapkannya dengan kalimat yang hebat heboh keren. Entah bagaimana, karena kejadian itu pertama kali terjadi dalam hidup saya. Bagaikan sinergi konspiratif, tahun itu saya mendapatkan energi yang besar yang berbeda seperti tahun sebelumnya. Biasanya saya memang enerjik, tapi tahun itu berbeda. Saya mulai menulis visi misi pribadi, mulai menulis 100 mimpi yang tidak lagi sekedar berpusat pada diri sendiri (nyatanya sampai saat ini baru tertulis 40an mimpi hehe). Tiba-tiba saya punya keinginan kuat untuk ikut kegiatan-kegiatan pemuda di gereja. Saya sampai pernah 3 kali bolak-balik rumah pendeta dalam seminggu untuk janji ketemuan saja untuk ngobrol bikin komunitas pemuda di gereja. Padahal aslinya saya tidak sabaran menunggu hasil. Tahun itu juga saya tiba-tiba punya keinginan kuat mengajar sekolah minggu, punya keinginan kuat mementor anak-anak muda. Tahun itu juga semangat saya menggebu-gebu menyelenggarakan seminar kepemimpinan untuk pemuda. Kadang jadi tukang ketik, jadi panitia beres-beres meja yang mana itu sangat-sangat bukan saya banget.

Saya pikir tahun itu memang banyak orang yang mendoakan saya, termasuk pimpinan saya. Tapi sepertinya Kak Vonny waktu itu berdoa khusyuk buat saya. Di waktu-waktu luang Kak Vonny sering menyeletuk, “Kau itu lama-lama nanti jadi misionaris sudah…” awalnya saya anggap lelucon saja. Tapi lama-lama karena sering diucapkan, walaupun dengan nada bercanda, saya jadi horror sendiri. Dalam pikiran saya, saya masih butuh uang yang banyak dan berencana hanya mau mengabdi di organisasi selama 2 tahun setelah itu loncat ke lautan emas haha. Pernah juga dia dan Kak Ibeth mengolok-olok saya tak akan direlokasi lagi seperti staf relokasi umumnya. Dan memang benar, tahun kedua saat teman se-batch saya dipindahkan, saya tak urung dipindahkan ke daerah lain. Hingga ke tahun-tahun berikutnya. Haha.

Kak Vonny telah banyak memuridkan orang. Saya rasa kunci keberhasilan pemuridannya adalah terletak pada konsistensinya, tiap subuh ia selalu memulai aktivitas dengan doa dan renungan. Walaupun dalam banyak hal ia terkesan impulsif, dalam mengambil keputusan-keputusan penting ia sangat sabar dan berpasrah diri pada Tuhan melalui rutinitas komunikasinya dengan Tuhan. Kadang ia sampai menangis sedih dan menangis bahagia akan kesedihan dan kebahagiaan anak-anak didiknya di Forum Anak Sumba Timur. Mungkin karena ia sangat dekat dengan anak-anak tersebut bukan hanya secara fisik namun juga secara rohani ia mendoakan anak-anak satu persatu.

Dan memang Kak Vonny adalah sosok kakak persekutuan yang lemah lembut dan perhatian itu. Jika ia bepergian ke luar kota, bagaikan emak-emak professional, ia selalu pulang membawa oleh-oleh untuk teman-teman kantor, teman-teman persekutuan dan anak-anak. Saya yang kadang tak pernah berpikir akan dibawakan hadiah juga sering kecipratan. Di cell group, Kak Vonny adalah orang yang paling sering mengambil peran sebagai emak-emak, dia selalu tanggap akan ulang tahun anggota, selalu punya ide membuat orang bahagia, paling hobi memasak kalau cell group diadakan di rumahnya, paling suka ngompor-ngomporin atau menjebak orang-orang untuk curcol haha. Bagi saya ada bagusnya juga karena kadang saya pun kurang ngeh kalau saya sedang bermasalah. Paling siap sedia dan semangat kalau dikompor-komporin jadi mak comblang (selama saya kenal Kak Vonny, dia sudah menyomblangin lebih dari 10 pasangan) walaupun dirinya sendiri sampai sekarang jomblo terus. Haha. Ke-impulsif-annya tak berlaku dalam urusan percintaan. Dalam hal ini, walaupun ia punya fans club dengan anggota lumayan banyak, ia sangat taat menunggu hasil diskusinya dengan Tuhan.

Anyway, selamat panjang umur, Kak Vonny! Sesuai dengan namanya, Refornita, Kak Vonny, sadar atau tanpa ia sadari, dengan kecerewetannya dan kasualitasannya yang berkualitas telah berhasil mereformasi hidup anak-anak muda menjadi hidup yang bersinar bagi Tuhan. Salah satunya adalah saya, walaupun belum sempurna seperti yang ia doakan hehe.

31 Oktober 2016 - Waingapu





Monday, 14 March 2016

Dukung Mencontek!

"Saya mendukung siswa yang mencontek dalam ujian...." Anarara, salah satu pengurus kelompok anak dari Desa Tawui menyatakan pendapatnya dan menantang lawannya berargumen.

Anarara, gadis kecil yang dibesarkan dalam keluarga beragama yang taat, disiplin yang kuat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan positif di desanya dan bercita-cita menjadi Pendeta,
tentu tak pernah sekalipun mendukung semua bentuk kecurangan yang dilakukan siswa saat ujian. Ia mengemukakan kalimat tersebut untuk mengajari pengurus desa lainnya yang lebih 'hijau' dalam debat. Akhir Februari lalu, tiga puluhan pengurus anak dari empat desa di Kecamatan Pinupahar: Ramuk, Mahaniwa, Wanggabewa dan Tawui berkumpul selama dua hari di Tawui untuk mengikuti kamp pengurus kelompok anak. Dalam kamp tersebut selain mereka disegarkan dengan devosi mengenai kejujuran dan pengembangan bakat, anak-anak juga diberi materi-materi penunjang yaitu: Debating skills, writing skills dan event organizing skills. Hal ini bertujuan meningkatkan kepercayaan diri mereka dan meningkatkan kualitas kepanitiaan mereka dalam menangani acara-acara kreativitas anak yang sering mereka selenggarakan di desa masing-masing.

Ini adalah kali pertama anak-anak berdebat secara formal. Mosi yang dipakai adalah "Sidang ini percaya bahwa siswa menerima jawaban ujian dari guru saat ujian nasional diperbolehkan". Apalagi sistem yang digunakan adalah Asian Parlementary Debate, di mana setiap tim terdiri atas 3 orang, masing-masing pada tim Affirmative (pro) dan Negative (kontra). Awalnya anak-anak takut-takut mengungkapkan mengungkapkan argumen mereka. Khususnya setiap pembicara pertama tiap tim yang diberi waktu bicara lebih lama. Masalah klasik anak-anak ini adalah takut salah dan takut ditertawakan oleh teman lainnya jika mereka salah bicara. Namun, kami sepakat agar tidak ada anak yg boleh tertawa saat temannya berdebat. Dan semua anak diberi kesempatan berdebat dengan metode ini. Lambat laun, mereka mulai percaya diri sampai-sampai batas waktu bicara yang diberikan tak dirasa cukup oleh para debater cilik ini.

Bagi anak sendiri, debat memiliki daya tarik sendiri karena mereka akhirnya punya kesempatan berbicara dan mendebat pemikiran teman lainnya dengan cara yang santun. Satu hal yang sulit karena banyak anak yang terbiasa mendebat temannya bahkan sebelum temannya selesai berbicara. Melalui debat mereka juga belajar mendengar dan menghargai pendapat orang lain serta berpikir logis. Akhirnya, waktu untuk sesi debat terpaksa diperpanjang karena antusiasme anak untuk berdebat susah dibendung hehe.

Diam-diam saya merasa sedikit iri kepada mereka yang masih kecil tapi berani melawan ketakutan mereka sendiri dan berani mendebat walalupun baru saja belajar tentang apa itu debat. Saya teringat ketika saya pertama kali berdebat di kampus, di usia yang jauh lebih tua dari mereka dan bagaimana saya dan tim sampai salah mempersiapkan mosi debat karena panik yang kelewat besar.

Pengharapan saya terhadap mereka, calon-calon pemimpin masa depan ini tetap tinggi. Saya membayangkan tahun depan mereka bisa mendebat orang-orang dewasa di desa mereka saat musrenbangdes dalam memperjuangkan hak-hak anak. Mereka akan mempersiapkan 'mosi' mereka dengan baik, menyiapkan data-data pendukung tentang keadaan siswa dan gap pendidikan di desa mereka. Mereka juga akan mendebat bila ada kepala desa yang menganggap kegiatan-kegiatan yang mendukung minat dan bakat anak adalah pemborosan. Mereka juga akan memperjuangkan agar prioritas pembangunan di desa bukan hanya pembangunan fisik tapi terlebih pembangunan mental dan karakter generasi, terutama anak-anak yang rentang hidupnya lebih panjang. Mereka akan memperjuangkan agar guru-guru aktif di sekolah, agar transportasi dari rumah ke sekolah mereka difasilitasi, agar mereka tak perlu berangkat dari rumah jam 5 pagi dan tiba di rumah jam 4 sore dengan peluh dan lapar karena jarak yang jauh, agar lomba-lomba minat bakat di desa diperbanyak, agar pembinaan di sanggar-sanggar anak di desa diperbanyak, agar beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi diperbanyak.

Anak-anak layak diperjuangkan haknya bukan karena mereka objek, mereka adalah subjek perjuangan itu sendiri.

Mereka adalah Generasi Sumba Bersinar, mereka sedang berlari menuju masa depan yang bersinar.

Saturday, 5 March 2016

(Another version of) Trust is Treasure



Jam 7 suatu jumat pagi, saya buru-buru harus memenuhi janji temu dengan seorang mitra yang tinggal agak jauh dari kantor saya. Pagi itu teman-teman kantor masih menikmati jam olah raga pagi, sehingga saya mencari ojek di depan kantor. Tidak jauh dari kantor, duduk di atas batu, seorang Bapak tua berperawakan mongol berkaos putih dan celana tanggung dengan sebuah motor di sampingnya. Dia melihat saya sambil berujar sesuatu seperti “ojek?”, walaupun gaya Bapak tersebut agak mencurigakan, saya tetap mengasumsikan ia adalah ojek sehingga saya meminta Bapak tersebut mengantarkan saya ke alamat yang diminta. Di tengah perjalanan saya sempat memikirkan beberapa jurus melarikan diri dari atas motor kalau-kalau om ojek ini bertindak macam-macam.

“Nona, ini su to dem tempat?” om ojek tiba-tiba berhenti. Saya melihat sekeliling, Saking seriusnya saya memikirkan alternatif-alternatif penyelamatan diri, saya tidak sadar telah tiba di tujuan.
“Benar su om, bae su” saya turun sambil merogoh dompet ingin mengeluarkan uang.
“Biar sudah saya tunggu Nona di luar sini saja sampai selesai” Om ojek menolak saya memberikan uang. Kecurigaan saya pun makin meruncing.
“..tapi saya masih lama om, bisa setengah jam” saya memberi alasan.
“iya, biar sudah tidak apa-apa, saya tunggu saja” Om ojek masih ngotot. Yang membuat saya makin curiga adalah kengototannya yang agak gugup, persis penipu. “Pagi begini masih susah cari ojek, biar su saya tunggu saja, tidak lama” Om ojek seperti menjawab kecurigaan saya. Saya mulai menimbang-nimbang, demi alas an kepraktisan saya malas juga harus cari ojek lagi setelah ini, lagipula jarak dari tempat ini ke kantor saya hanya maksimal 2 kilo, dan agak ramai, plus saya masih bisa melompat dari motor kalau dia macam-macam, plus saya sedang membawa kunci kamar saya, yang nota bene mainan kuncinya agak runcing dan bisa saya manfaatkan untuk mengunci gerakan om ojek ini kalau dia macam-macam, plus alasan pembenar lainnya yang ada di kepala saya saat itu. Akhirnya saya mengiyakan dan langsung buru-buru ke rumah mitra yang telah berjanji bertemu dengan saya.

Tepat setengah jam setelahnya, pembicaraan itu selesai dan saya menuju tempat tunggu om ojek. Benar, ternyata Om ojek masih ada di sana menunggu. “Sudah selesai, Nona?” Om ojek masih sempat bertanya sebelum kami berangkat kembali ke kantor. Di perjalanan, kecurigaan saya belum juga hilang. Dengan posisi awas saya masih memikirkan alternatif penyelamatan diri (haha). Sambil juga memikirkan bagaimana jika saya tiba di kantor lebih dari jam 8, yang artinya saya akan telat, yang arti lainnya juga saya akan dipotong cuti setengah hari.

Kecurigaan dan kekhawatiran saya terhenti sejenak ketika motor tiba-tiba berhenti. Namun alarm tubuh saya makin awas.

“Di sini di kantor to, Nona?” Om ojek menoleh. Lagi-lagi, saking sibuknya berkutat dengan pikiran, saya tidak sadar sudah berada di depan kantor. “Oh iya om” saya melangkah turun dan melihat isi dompet. Saya mulai panik karena ternyata isi dompet adalah lembaran uang seratus ribuan  “Wah om…maaf saya tidak ada uang kecil, pakai uang seratus ribu boleh kah?” saya sambil membolak-balik dompet berharap ada uang sepuluh ribu yang terselip. Tanpa ba-bi-bu, om ojek langsung membuka dompet dan memilah-milah lembaran uang di dalamnya. Tanpa sengaja saya melirik isi dompetnya, ternyata ada banyak lembaran seratus ribuan, lima puluh ribuan, sepuluh ribuan, hingga lima ribuan. Saya sempat berpikiran jangan-jangan itu semua adalah uang palsu. Namun, pemikiran itu agak sirna karena lembaran-lembaran tersebut terlihat agak kusam, seperti hasil dari transaksi dagang di lapangan. Saya bersyukur ada uang sepuluh ribuan di dalamnya, karena paling tidak uang seratus ribu saya tidak akan dikembalikan dengan uang lima puluh ribu dengan alasan tidak cukup ‘uang kecil’ (haha).

“Ini, Nona…” Om ojek menyerahkan saya sejumlah uang, saya menghitung dengan cepat, jumlahnya Sembilan puluh lima ribu rupiah.
“eh…ini kebanyakan om,” saya mengembalikan sepuluh ribu lagi ke om ojek.
“Tidak…tidak, pas sudah itu…terlalu banyak lagi itu…” Om ojek menolah uang dari saya. “Pas sudah, ojek hanya lima ribu saja sebenarnya, kan hanya dekat saja” ia memberi alasan.
“tapi tadi itu kan om tunggu selama setengah jam…” saya masih ngotot dengan sepuluh ribu  di tangan kanan untuk diserahkan ke Om ojek. Om ojek tetap mengelak.
“…tidak bisa, Nona…itu tarif sudah itu, mana kita mau bikin-bikin tarif lagi…pas sudah…sama saja” “……waduh, terima kasih su e, om…” dengan masih agak bingung, akhirnya saya menarik uang sepuluh ribu itu dan menyimpan kembalian uang sebanyak Sembilan puluh lima ribu itu kembali ke dalam dompet. Om ojek pun akhirnya pergi setelah saya berterima kasih yang kedua kalinya.

Saya sempat menceritakan keajaiban hari itu –Om Ojek berwajah Mongol beruang banyak-- ke beberapa teman dan iseng-iseng kami memperhatikan uang kembalian, ternyata uang itu adalah uang asli (haha). “Mungkin pekerjaan utamanya adalah pedagang, nyambi ojek, makanya masih pagi uangnya sudah banyak” salah satu teman saya berkomentar. Sepulang rumah, selesai berganti pakaian, saya masih memeriksa pakaian kantor saya, jangan-jangan ada penyadap suara yang tertempel atau alat spionase lainnya, ternyata tida ada satu pun. Benar ternyata bahwa Om Ojek tersebut bukanlah agen mata-mata seperti yang saya duga.

Oya, Saya akhirnya masuk kantor tepat waktu. Sambil melangkah ke ruangan dengan kebingungan, saya masih mencerna kejadian barusan. Banyak hal yang mencurigakan dari Om ojek tersebut, namun pada akhirnya tak satupun dari kecurigaan saya terbukti, malah sebaliknya om Ojek bermotivasi dan berbuat baik terhadap saya. Saya baru sadar saya belum sempat mensyukuri kejadian tadi dan belum juga meminta maaf (kepada Tuhan) atas prasangka buruk saya.

Sekali lagi, Trust is Treasure, bijak-bijaklah meletakkannya!


Note: "Trust is Treasure" pernah menjadi judul postingan saya dengan pengalaman sejenis:  http://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.htmlhttp://pincekeliat.blogspot.co.id/2014/01/trust-is-treasure.html